Oleh: M. Yamin Nasution, S.H.
Semalam, dalam sebuah webinar nasional yang diikuti peserta dari seluruh Indonesia bersama Profesor Hibnu dari Universitas Gadjah Mada dan narasumber lainnya, saya sampai pada satu kesimpulan sunyi: hukum baru tidak selalu berarti hukum yang lebih adil.
Setelah membandingkan hukum acara pidana nasional (KUHAPN) dengan KUHAP 1981, sistem hukum acara pidana negara-negara modern, hukum Prancis tahun 1808, serta hukum Belanda abad ke-19, satu kenyataan muncul tanpa dapat disangkal: hukum baru kita tidak lebih jernih daripada hukum kolonial.
Bahasanya gelap. Strukturnya kabur.
Alih-alih membebaskan hukum Indonesia, ia justru mengulang warisan penjajahan dalam ejaan nasional.
Dari sana lahir satu tesis:
Hukum baru menentukan bagaimana hukum lama dipahami.
Dan ketika hukum baru disusun secara kabur, masa lalu pun menjadi kabur.
Ketika hukum baru lahir tanpa jiwa keadilan, sejarah dibaca bukan sebagai pelajaran,
melainkan sebagai pembenaran.
Kita mungkin telah merdeka dari penjajah,
tetapi belum tentu merdeka dari bahasanya dalam hukum.
Oleh: M. Yamin Nasution, S.H.
























