Fusilatnews – Ada satu adegan yang hingga kini masih berputar di ingatan banyak orang: aktor Hollywood Harrison Ford, wajahnya merah menahan amarah, menunjuk-nunjuk Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dalam sebuah wawancara pada 2013. Ford—yang saat itu sedang membuat dokumenter lingkungan—tak mampu menyembunyikan kemuakannya terhadap laju perusakan hutan di Indonesia.
“You have the power! Why don’t you stop it?”
Suara Ford bergetar, matanya nyaris berair.
Zulkifli Hasan terlihat kikuk, defensif. Ia berupaya menjelaskan prosedur, izin konsesi, dan kompleksitas birokrasi. Tetapi dunia sudah terlanjur melihat satu hal: kemarahan seorang warga dunia terhadap bagaimana Indonesia memperlakukan hutan tropisnya.
Adegan itu bukan hanya pertengkaran dua orang dewasa. Ia adalah simbol global: hutan Indonesia bukan hanya milik bangsa ini—tetapi milik bumi.
Dan hari ini, setelah banjir Sumatra menghancurkan permukiman dan menewaskan ratusan, adegan itu terasa seperti nubuatan yang menjadi kenyataan.
Dunia Masih Marah, Indonesia Masih Berkelit
Banjir di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada Desember 2025 menyisakan satu bukti yang tak bisa dibantah: gelondongan kayu yang berserakan seperti jasad-jasad pohon yang ditumbangkan secara brutal.
Setiap batang kayu itu seolah berteriak,
“Ini bukan sekadar bencana alam—ini akibat ulah manusia.”
Dunia tahu itu. Para peneliti tahu itu. Para diplomat tahu itu. Harrison Ford, yang bukan ilmuwan, pun tahu itu hanya dengan menatap hutan yang hilang dari atas helikopter.
Karena itu, ketika bencana datang, dunia kembali mengarahkan sorot mata ke Indonesia. Tidak lagi sebagai penonton yang pasif, tetapi sebagai pemegang saham ekologis planet ini.
Sebab apa pun alasan politik dalam negeri, apa pun pertimbangan ekonomi jangka pendek, jika hutan Indonesia runtuh, efeknya menjalar ke seluruh bumi.
Hutan Tropis Indonesia: Nafas yang Tidak Mengenal Paspor
Indonesia bukan sekadar punya hutan tropis. Indonesia menjaga—atau seharusnya menjaga—salah satu paru-paru bumi. Amazon dan Congo selalu mendapat sorotan global, tetapi Sumatra dan Kalimantan memegang peran yang sama pentingnya:
- Menyerap karbon dunia.
- Mengatur iklim Asia Pasifik.
- Menjaga ribuan spesies endemik.
- Menahan laju pemanasan global.
Ketika tutupan hutan ini hilang, dunia tidak punya penggantinya.
Itulah mengapa Harrison Ford dulu marah. Marah karena ia melihat negara dengan tanggung jawab ekologis raksasa malah terjebak pada birokrasi, politik izin, dan kompromi ekonomi. Marah karena ia tahu yang hilang tidak akan pernah tumbuh kembali dalam usia manusia.
Ford tidak sedang memarahi Zulkifli Hasan sebagai pejabat Indonesia. Ia memarahi Indonesia sebagai penjaga warisan dunia.
Banjir Sumatra: Ketika Alam Menagih Janji
Bencana 2025 bukan kejutan. Ini bukan tragedi yang datang tiba-tiba seperti meteor. Ini adalah hasil rangkaian keputusan yang diambil selama puluhan tahun:
- Izin konsesi yang diberikan tanpa kontrol ketat.
- Pembalakan liar yang dibiarkan berakar.
- Pengawasan hutan yang longgar—atau pura-pura ketat.
- Alih fungsi lahan yang melampaui akal sehat ekologis.
Akumulasi semua itu akhirnya muncul ke permukaan dalam bentuk air bah. Sungai-sungai meluap, bukit-bukit longsor, dan warga kehilangan rumah.
Dan dunia kembali bertanya,
“Sampai kapan Indonesia membiarkan paru-paru bumi dirusak?”
Pertanyaan yang sama yang dilontarkan Harrison Ford—hanya kini diajukan oleh seluruh planet.
Ekonomi yang Merusak Masa Depan
Indonesia kerap berlindung di balik kebutuhan pembangunan. Sawit, tambang, dan ekspansi prasarana disebut sebagai tulang punggung ekonomi. Tetapi ekonomi yang mengorbankan hutan tropis bukanlah pembangunan—itu adalah penjualan aset masa depan.
Uni Eropa sudah menerapkan kebijakan anti-deforestasi. Dunia terus memperketat standar lingkungan. Investor mulai kabur dari sektor yang merusak hutan.
Artinya, merusak hutan tropis Indonesia bukan hanya dosa ekologis.
Ini juga bunuh diri ekonomi.
Indonesia di Persimpangan Sejarah
Setelah banjir reda, setelah logistik disalurkan, Indonesia kembali berhadapan dengan pilihan yang sama: melanjutkan pola lama, atau mengambil jalan baru.
Dunia sedang menunggu tiga langkah penting:
- Menindak tegas pembalak liar dan aktor finansial di belakangnya.
Bukan pencitraan, tetapi penegakan hukum yang mengancam pelaku sesungguhnya. - Menghentikan izin yang merambah kawasan lindung dan hutan primer.
Audit menyeluruh adalah keharusan, bukan opsi. - Memberi ruang bagi masyarakat adat yang terbukti menjadi penjaga hutan paling efektif.
Jika tiga hal ini tidak dilakukan, maka setiap komitmen iklim Indonesia hanya akan terdengar seperti pidato diplomatik—nyaring di forum internasional, tetapi kosong di lapangan.
Penutup: Amarah Dunia adalah Perhatian yang Terluka
Adegan Harrison Ford menegur Zulkifli Hasan bukan sekadar potongan dokumenter. Itu adalah simbol kemarahan dunia terhadap negara yang belum menyadari bahwa ia menjaga aset paling berharga bagi peradaban.
Hutan tropis Indonesia memang berada di wilayah Republik Indonesia.
Tetapi dampaknya melintas negara, menembus batas, dan menyentuh seluruh benua.
Indonesia bisa memilih dua jalan:
- Menjadi pahlawan ekologis dunia, atau
- Menjadi sumber bencana iklim global.
Dan jika pilihan itu tidak dibuat hari ini, banjir Sumatra hanya akan menjadi bab pertama dari tragedi yang lebih besar.
Karena pada akhirnya,
hutan tropis Indonesia mungkin berada di tanah kita—tetapi nafasnya menghidupi dunia.


























