Oleh: Damai Hari Lubis – Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Di negeri ini, sejarah sering dipadatkan menjadi kabar burung. Ia tak lahir dari dokumen, melainkan dari bisik-bisik yang tumbuh menjadi keyakinan. Seperti halnya tuduhan tentang ijazah seorang presiden. Tuduhan yang berulang kali naik ke permukaan: Jokowi, katanya, menyandang ijazah palsu dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.
Tuduhan itu memang terdengar liar, tetapi ia menemukan tempatnya di tengah publik yang mudah haus akan gosip politik. Dari sana, laporan polisi pun lahir. Dua belas orang terlapor tercatat, mereka yang disebut “penebar hasut dan fitnah”. Penyidik masuk bekerja, berkas dibuka, keterangan disusun. Namun, yang terpegang justru ruang kosong: hasil laboratorium forensik digital yang nihil. Bukti yang tak kunjung pasti.
Di hadapan hukum, perkara ini berhenti di batas yang kabur. Tapi di hadapan publik, kasus ini justru melahirkan tafsir baru: jika benar ijazah itu asli, mengapa kebenarannya tak bisa ditegakkan dengan terang? Mengapa yang ada hanya pernyataan formal dari UGM, yang terdengar lebih seperti formalitas birokratis ketimbang kesaksian akademik yang utuh? Pertanyaan itu terus bergema, bahkan setelah Jokowi lengser dari kursi presiden.
Ironinya, Jokowi sendiri pernah mengaku: tuduhan-tuduhan ini membuat dirinya merasa dihina sehina-hinanya. Kata-kata itu keluar dari bibirnya, dikutip ulang oleh para pendukungnya, didengungkan dari beranda rumahnya di Solo sampai podium kepolisian di Jakarta. Sebuah pengakuan tentang luka, tentang betapa fitnah bisa memukul harga diri seorang presiden.
Namun, di balik pengakuan itu, ada kenyataan lain: Jokowi masih tampil sebagai “jawara” yang tak sepenuhnya turun dari gelanggang. Ia masih acap menunjukkan “show force”. Dari kabinet warisan Merah Putih, dari lingkaran kekuasaan yang tetap loyal, peta politik membuktikan bahwa ia masih “real power”. Kekuasaan formal memang telah bergeser, tapi bayangannya masih panjang, dan pengaruhnya tetap terasa.
Justru karena itu, kegagalan penyidik menggiring para terlapor menjadi tersangka terasa ganjil. Publik tentu berhak bertanya: apakah hukum memang bekerja, ataukah hukum sekadar menunggu aba-aba? Bukankah seharusnya, jika bukti digital nihil, kesimpulan itu diumumkan secara transparan, bukan disimpan rapat sebagai rahasia institusi? Bukankah kejelasan adalah hak rakyat, bukan milik Polri semata?
Ketiadaan jawaban membuat ruang tafsir makin liar. Logika publik pun cenderung tendensius: jangan-jangan, ijazah asli yang dinyatakan oleh UGM hanyalah “isapan jempol”. Jangan-jangan, yang selama ini dipertontonkan hanyalah bukti formal, bukan kebenaran materiil. Dan di situlah, fitnah yang disebut Jokowi, justru menemukan energi baru untuk terus berputar.
Pada akhirnya, kita memang bangsa yang akrab dengan paradoks. Kita hidup dalam republik yang selalu bicara tentang supremasi hukum, tapi terlalu sering membiarkan hukum berdiam dalam gelap. Kita percaya bahwa kebenaran bisa ditegakkan, tapi kita juga menyaksikan bagaimana kebenaran kerap ditunda, bahkan dikubur.
Maka ijazah itu—selembar kertas akademik yang seharusnya tak lebih dari bukti pendidikan—telah menjelma menjadi simbol. Simbol tentang bagaimana politik kita bekerja, bagaimana kekuasaan meninggalkan bayangan panjang, dan bagaimana rakyat akhirnya dibiarkan menggantung pada rasa curiga.
Dan di sinilah ironi terbesar itu bersemayam: ijazah Jokowi akan tetap menjadi “hantu politik” yang bergentayangan. Ia mungkin tak akan pernah bisa dipatahkan sepenuhnya, sebagaimana ia juga tak pernah bisa dipastikan secara tuntas. Ia akan terus mengikuti Jokowi, bahkan setelah masa pemerintahannya usai, bahkan ketika sejarah nanti menimbang dirinya. Hantu itu akan hadir—membisikkan pertanyaan yang sama: asli, atau palsu?