Fusilatnews – Di negeri ini, pendidikan sering kali lebih mirip panggung sandiwara daripada ladang pencerdasan. Absurd, tapi nyata: ijazah S1 dan S2 Gibran Rakabuming di luar negeri disetarakan hanya setingkat dengan Grade 12, alias setara lulusan SMA. Sebuah ironi yang menampar akal sehat publik. Pertanyaan pun menggantung di udara: mengapa lembaga yang mestinya berwenang, yakni Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti), tidak dilibatkan dalam proses ini? Bukankah logikanya, jika seseorang mengaku lulusan universitas luar negeri, maka penyetaraan mestinya dilakukan pada level pendidikan tinggi, bukan dasar-menengah?
Di sini absurditas pertama menganga. Ditjen Dikdasmen, yang seharusnya hanya mengurus penyetaraan SD, SMP, dan SMA, justru mengambil alih tugas penyetaraan ijazah Gibran. Hasilnya? Gelar sarjana dan magister dari luar negeri yang semestinya diuji kesetaraannya dengan S1 atau S2 di Indonesia, malah “diturunkan derajatnya” ke level SMA. Pertanyaan logis pun muncul: apakah ini sekadar “kelalaian teknis”, atau justru “rekayasa politis” agar keabsahan administrasi Gibran bisa diloloskan dalam kontestasi politik tertentu?
Absurditas kedua muncul dari segi rasionalitas akademik. Jika benar ijazah itu sah dari universitas luar negeri, mustahil ia hanya setara lulusan SMA. Sebaliknya, jika benar ijazah itu bermasalah, mengapa bukan Dikti yang menyatakan demikian dengan basis evaluasi akademik? Dengan menyerahkan urusan ini ke Dikdasmen, publik justru melihat adanya upaya untuk “menghindari” proses akademik yang lebih ketat dan transparan.
Lebih jauh lagi, kasus ini memperlihatkan kaburnya garis tupoksi di dalam birokrasi pendidikan kita. Dikti seharusnya menjadi penjaga mutu dan gerbang akademik tertinggi bagi penyetaraan ijazah luar negeri. Namun, dalam kasus Gibran, seolah-olah Dikti “dipinggirkan”, dan tugasnya dilimpahkan ke Dikdasmen. Situasi ini tidak hanya merusak tata kelola pendidikan, tapi juga meruntuhkan kredibilitas sistem penyetaraan ijazah nasional.
Potret ini semakin absurd jika kita kaitkan dengan kondisi sosial-politik saat ini. Bagaimana mungkin seorang yang digadang-gadang sebagai wakil presiden, sosok yang akan ikut menentukan masa depan bangsa, justru memiliki riwayat ijazah yang carut-marut? Publik berhak bertanya: apakah kualitas pendidikan dan kapasitas intelektual seorang pemimpin sudah tak lagi penting, asal ia anak presiden?
Kasus penyetaraan ijazah Gibran pada akhirnya menjadi cermin betapa rusaknya logika negara ini. Pendidikan dijadikan alat legitimasi politik, bukan pilar kualitas kepemimpinan. Lebih ironis lagi, alih-alih memperkuat integritas akademik, lembaga pendidikan malah terlibat dalam permainan kekuasaan.
Absurd, memang. Tapi dari absurditas inilah kita belajar satu hal: di republik ini, akal sehat sering kalah oleh kepentingan, dan ijazah pun bisa “dijajakan” sesuai kebutuhan.























