Oleh: Malika Dwi Ana
Minggu-minggu ini publik disibukkan oleh debat yang sama sekali tidak penting: siapa “bapak” bandara gelap di Morowali—SBY atau Jokowi?
Pertanyaan yang benar-benar penting ternyata hanya satu, dan sampai hari ini tak seorang pun pejabat berani menjawabnya dengan jujur:
Mengapa sebuah perusahaan asing diperbolehkan memiliki bandara internasional di tengah hutan nikel Indonesia, tanpa pos imigrasi permanen, tanpa pos bea cukai, dan negara hanya mendapat royalti kurang dari 8 persen?
Timeline-nya sudah jelas:
2013 – Presiden SBY menandatangani MoU dengan Presiden Xi Jinping.
2015 – Presiden Jokowi melakukan groundbreaking dan meresmikan kawasan IMIP.
2017 – Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengeluarkan izin bandara khusus.
2019 – bandara mulai beroperasi.
2025 – statusnya naik menjadi internasional, sementara Menhan Sjafrie Sjamsoeddin menyebutnya “anomali kedaulatan”.
Hingga tulisan ini diturunkan, belum ada satu pun aturan yang dicabut.
Jadi, ini bukan lagi soal “siapa yang mulai, siapa yang lanjutkan”.
Ini soal sistem yang telah dirancang secara sadar pada 1999–2002 melalui amandemen UUD 1945, khususnya penambahan Pasal 33 ayat (4) dan (5), yang memberi legitimasi konstitusional bagi:
– Tax holiday hingga 20 tahun
– Kontrak karya 30+10+10 tahun
– Kawasan ekonomi khusus yang praktis lepas dari pengawasan negara
– Royalti dan pajak yang bisa “dinegosiasikan” hingga mendekati nol.
Hasilnya terpampang di Morowali:
Tsingshan Holding Group (China) menguasai 66,25 persen saham IMIP, mengoperasikan 11 smelter, PLTU 3,8 GW, pelabuhan khusus, dan bandara internasional.
Indonesia mendapat lapangan kerja dengan upah terendah se-Asia Tenggara, ekspor yang melonjak (namun 92 persen nilai tambah lari ke Shanghai), serta royalti yang masuk APBN di bawah 8 persen (data Kemenkeu dan BPK 2024–2025).
Sisanya adalah deforestasi, polusi logam berat, 58 pekerja tewas (data resmi) dalam tujuh tahun, dan 26–30 ribu tenaga kerja China yang keluar-masuk melalui bandara tanpa pengawasan memadai.
Semua rezim pasca-Reformasi—dari SBY, Jokowi, hingga pemerintahan Prabowo saat ini—hanya berbicara di level hilir: “ekspor naik, devisa bertambah, lapangan kerja tercipta”.
Tak satu pun berani menyentuh hulu:
Siapa yang menulis konstitusi sehingga negara ini boleh menjadi pelayan investor asing?
Selama Pasal 33 ayat (4) dan (5) masih bertahta, selama GBHN tidak dikembalikan, dan selama presiden tetap menjadi raja lima tahunan yang tidak terikat visi bangsa, maka bandara gelap Morowali hanyalah permulaan.
Weda Bay, Obi, Konawe, dan puluhan kawasan industri lainnya akan menyusul, hingga akhirnya seluruh Nusantara menjadi kumpulan enklave asing yang legal dan konstitusional.
IMIP Morowali adalah cermin paling telanjang dari kegagalan amandemen 1999–2002: mengubah Republik yang lahir dari perjuangan kemerdekaan menjadi rumah kontrakan yang disewakan murah kepada imperium baru, dengan pejabat-pejabatnya hanya berperan sebagai makelar bergilir setiap lima tahun.
Sudahi perdebatan sia-sia tentang siapa yang meresmikan bandara.
Rakyat hanya menunggu satu jawaban jujur dari penguasa:
Kapan negara ini berhenti menjadi jongos di rumah sendiri?
Jika jawabannya masih “entahlah”, maka kita semua—termasuk yang hari ini sibuk saling tuding di media sosial—sedang merayakan kemerdekaan yang sudah lama mati.(Malika’s Insight 02 Desember 2025)

Oleh: Malika Dwi Ana
























