Oleh: Damai Hari Lubis – Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Sebuah artikel menarik ditulis oleh Memet Hakim, Pengamat Sosial sekaligus Dewan Penasihat Aliansi Profesional Bangkit & Aliansi Pejuang dan Purnawirawan TNI. Judulnya provokatif: “Mahmilub Jilid 2, Jawaban Terhadap Kasus Ijazah Palsu & Kejahatan Jokowi, TNI Masih Netral!!!”
Gagasan utamanya: kasus dugaan ijazah palsu Presiden Jokowi sebaiknya ditangani oleh TNI, bukan kepolisian. Alasannya, TNI dinilai masih memiliki sisa-sisa netralitas dan integritas dalam menghadapi kasus besar dan politis semacam ini. Menurutnya, bila kejahatan terorisme, narkoba, keamanan laut, bahkan bea cukai sudah didelegasikan kepada TNI, mengapa perkara ijazah palsu tak bisa ditangani dengan pendekatan yang sama?
Bagi sebagian kalangan, ide ini terdengar ekstrem. Namun jika kita melihat sejarah, Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) memang pernah digunakan untuk menangani kejahatan yang dinilai mengancam stabilitas negara. Mahmilub dibentuk di era Orde Baru untuk mengadili pelaku G30S/PKI secara cepat dan tegas—tanpa ruang banding, kasasi, atau grasi. Beberapa tokoh yang disidangkan antara lain Dr. Subandrio dan Letkol Untung.
Kini, usulan serupa mencuat kembali—bukan untuk membungkam pemberontakan fisik, melainkan untuk menuntut kebenaran dari dugaan kebohongan publik yang dilakukan oleh seorang Presiden.
Jokowi dan Bayang-Bayang Kejahatan Politik
Menurut Memet Hakim, persoalan dugaan ijazah palsu hanyalah puncak dari gunung es kebohongan Jokowi. Ia menyinggung pula soal praktik KKN, penyalahgunaan kekuasaan, dan manipulasi politik, yang menurutnya semakin mencolok selama masa pemerintahan Jokowi. Lebih tragis, lembaga penegak hukum seperti kepolisian dianggap telah kehilangan independensinya, sehingga membuat persoalan hukum menjadi bias, berlarut-larut, bahkan seolah dilupakan.
Dalam konteks inilah, usulan Mahmilub Jilid II muncul sebagai “rule breaking” yang dibutuhkan negara ini—sebuah terobosan hukum yang lahir dari logika akal sehat dan kehausan akan keadilan. Karena hukum tidak boleh mati. Hukum tidak bisa tunduk pada kekuasaan. Jika tidak ada lembaga yang cukup berani memproses pemimpin tertinggi negara, maka diperlukan instrumen hukum yang luar biasa: Mahmilub.
Tentu saja, untuk merealisasikan ide ini, diperlukan satu titik temu yang masuk akal secara konstitusional. Jokowi, sebagai Presiden, juga pernah menjabat sebagai Panglima Tertinggi TNI. Maka, jika kepemimpinannya dinilai telah menodai prinsip netralitas TNI, mengintervensi institusi negara demi kepentingan politik dinasti, maka TNI punya alasan kuat untuk menyeretnya ke hadapan Mahmilub.
Presiden Nekad, Negara Sekarat
Jokowi memang tidak dikenal sebagai sosok yang cerdas secara akademik, namun ia lihai memainkan persepsi publik. Ia ‘pandai membeli kepercayaan’, menjerat dan membarternya dengan kekuasaan. Keberhasilannya meloloskan diri dari jeratan hukum hingga hari ini bukan karena ia bersih, tapi karena ia licin. Ironisnya, para intelektual pun ikut mendukungnya, bahkan yang cerdas sekalipun.
Inilah sebabnya saya, sebagai pengamat hukum dan politik, mendukung 100% gagasan Memet Hakim. Karena negara ini membutuhkan keberanian, bukan sekadar prosedur hukum yang kaku. Jika Mahmilub Jilid I adalah respons terhadap kudeta fisik, maka Mahmilub Jilid II adalah respon terhadap kudeta kebenaran.
Dan bila ini tidak segera dilakukan, sejarah akan mencatat bahwa keadilan pernah kalah oleh kekuasaan, dan bangsa ini pernah rela dipimpin oleh seseorang yang bahkan tak bisa membuktikan siapa dirinya yang sebenarnya.

Oleh: Damai Hari Lubis – Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)























