Jakarta-FusilatNews – Sebanyak 31 perempuan korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) di Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Banten, memilih untuk menggugat cerai suami di Pengadilan Agama daripada melaporkannya ke kepolisian.
Keputusan ini diambil karena korban menghendaki proses hukum yang lebih cepat dibandingkan proses di kepolisian yang dinilai membutuhkan waktu panjang.
Dalam kurun waktu satu bulan, Layanan Bantuan Hukum Majelis Hukum dan Ham (MHH) Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Tangerang Selatan telah menerima 31 permohonan bantuan hukum dari para perempuan korban KDRT ini. “KDRT yang dialami berupa KDRT fisik, psikis, dan penelantaran ekonomi,” ujar Sekretaris MHH PDM Kota Tangsel Alin Esa Priatna, Sabtu (1/11/2025).
Ironisnya, kata dia, tak satu pun dari mereka yang memutuskan untuk memproses kasus kekerasan tersebut melalui jalur pidana.
”Dari 31 korban tersebut, sembilan orang di antaranya telah secara resmi mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama Tigaraksa. Secara serentak, mereka menjalani sidang pertama, Kamis (30/10/2025).
Persidangan perdana ini dilaksanakan di luar gedung pengadilan, atau yang dikenal dengan istilah sidang keliling, bertempat di Balai Ratu Permai, Ciputat, Kota Tangsel.
“Para perempuan korban KDRT ini mendapatkan pendampingan hukum secara kolaboratif dari tiga organisasi, yaitu Majelis Hukum dan HAM (MHH) Muhammadiyah Kota Tangsel, LBH Keadilan, dan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) ‘Aisyiyah Kota Tangsel.
Ketua Posbakum Aisyiyah Kota Tangsel Halimah Humayrah Tuanaya menyatakan keputusan para perempuan untuk menggugat cerai menunjukkan upaya mereka mencari keadilan dan perlindungan diri.
”Keputusan para perempuan ini untuk menggugat cerai menunjukkan upaya mereka mencari keadilan dan perlindungan diri dari situasi KDRT yang mereka alami,” ujar Halimah.
Sementara itu, Direktur LBH Keadilan Nurbayu Susandra menegaskan komitmen pendampingan yang diberikan.
”Kami berupaya memastikan proses hukum ini berjalan lancar bagi perempuan korban. Pendampingan ini adalah wujud komitmen organisasi dalam memberikan akses keadilan, khususnya bagi perempuan dan anak,” tutup Sandra.
Keputusan korban memilih jalur gugatan perceraian menyoroti kebutuhan akan mekanisme perlindungan yang cepat dan responsif bagi korban KDRT di Indonesia.






















