Keputusan Prabowo Subianto mengangkat M. Qodari sebagai Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) adalah isyarat terang bahwa arah kekuasaan masih dikendalikan aroma “Geng Solo” warisan Jokowi. Qodari bukan figur netral. Ia adalah orang pertama yang mengundangkan wacana tiga periode Jokowi. Dengan dalih hasil survei, ia menjadi corong opini yang membajak demokrasi untuk mengamankan kursi sang penguasa.
Sejatinya, orientasi kerja Qodari bukanlah pada integritas akademis atau obyektivitas survei, melainkan pada kalkulasi politik yang berpihak. Survei dijadikan alat untuk melegitimasi agenda kekuasaan, bukan instrumen membaca aspirasi rakyat. Ketika seorang intelektual menjual otoritasnya demi menjaga kepentingan penguasa, di situlah integritas runtuh dan nama baik keilmuan menjadi sekadar stempel dagangan.
Prabowo seharusnya belajar dari sejarah: kekuasaan yang bertumpu pada manipulasi opini dan propaganda survei tidak akan pernah kokoh. Mengangkat Qodari pada posisi strategis setara dengan melegitimasi kecacatan moral dalam tubuh pemerintahan baru. Bagaimana mungkin bangsa ini bisa berharap pada perubahan, bila pos kunci diserahkan pada sosok yang rekam jejaknya jelas-jelas pernah menjadi motor politik perpanjangan jabatan yang bertentangan dengan konstitusi?
Keputusan ini memperlihatkan dua hal. Pertama, Prabowo tidak sedang membangun pemerintahan yang bersih, melainkan melanjutkan jejaring politik lama. Kedua, ia mengabaikan prinsip meritokrasi: jabatan diberikan bukan karena integritas dan kapasitas, melainkan karena loyalitas politik dan jasa di masa lalu.
Kritik ini bukan sekadar soal personal Qodari. Ini tentang penyakit laten dalam tubuh demokrasi Indonesia: intelektual bayaran yang menjual otoritasnya demi legitimasi penguasa. Dengan Qodari di KSP, publik seakan sedang dipaksa menelan pil pahit bahwa kekuasaan tidak lagi berbicara soal kapasitas, tetapi soal siapa yang paling pandai membangun narasi untuk menutup borok penguasa.
Prabowo boleh saja mengangkat Qodari, tapi sejarah akan mencatat: inilah momen ketika integritas intelektual disingkirkan, dan negeri ini kembali dipertaruhkan di tangan para pedagang opini.