Fusilat News – Akhirnya, kita tahu. Bukan dari pengakuan pejabat lama yang terbiasa berbicara dalam bahasa statistik, melainkan melalui Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan yang baru. Ia datang dengan wajah tenang, tanpa jargon besar, tapi satu per satu lapisan kabut mulai tersibak. Dari Purbaya kita tahu, banyak hal yang selama ini dilakukan Sri Mulyani ternyata keliru arah. 
Purbaya tidak sedang membongkar pendahulunya, ia hanya menata ulang logika ekonomi yang selama ini dikelola lebih sebagai panggung politik ketimbang ilmu pengetahuan. Selama bertahun-tahun, publik dijejali istilah “stabilitas fiskal”, “disiplin anggaran”, “efisiensi belanja”. Tetapi di balik itu, defisit dibiarkan menganga, utang terus menumpuk, dan prioritas kebijakan sering kali lebih melayani ambisi politik presiden ketimbang kebutuhan rakyat.
Kini, Purbaya datang dengan pendekatan yang lebih jernih—mungkin karena latar belakangnya sebagai insinyur dan ekonom riset, bukan pemain citra. Ia berbicara dengan bahasa data, bukan drama. Dan lewat kejujurannya yang dingin, kita justru mulai memahami betapa banyak kesalahan yang selama ini dikemas rapi dalam balutan profesionalisme semu.
Momen ini mengingatkan kita pada masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ia sering disebut lembek, terlalu berhati-hati, bahkan lamban. Tapi di balik kehati-hatian itu, ada disiplin fiskal, ada kesadaran bahwa negara tak bisa dikelola dengan logika dagang. Ia menjaga keseimbangan antara pembangunan dan keberlanjutan, antara pertumbuhan dan keadilan. Tidak ada proyek mercusuar yang menenggelamkan akal sehat.
Sementara di era Jokowi, pembangunan menjadi panggung citra. Beton dan baja menjadi ukuran keberhasilan. Infrastruktur menjadi ikon, bukan instrumen. Kita melihat jembatan megah yang dibangun di atas jurang defisit, monumen kokoh yang berdiri di tengah kemiskinan struktural. Ia membangun banyak hal—kecuali manusia.
Dan kini, ketika kekuasaan diwariskan, muncullah Gibran Rakabuming Raka, sosok muda yang disebut mewarisi “visi besar” ayahnya. Tapi di sanalah ironi itu paling terang. Ketika publik menyandingkan nama Gibran dengan BJ Habibie, perbandingan itu tak ubahnya cermin yang memantulkan dua dunia berbeda: satu dibentuk oleh ilmu pengetahuan, satu lagi oleh algoritma media sosial. Habibie berpikir dalam rumus dan prinsip; Gibran dalam slogan dan trending topic.
Pertanyaan pun menggema: mengapa bangsa ini terus memilih kebodohan?
Apakah karena kita lebih terpesona pada kesederhanaan penampilan ketimbang kedalaman pikiran? Ataukah karena kita sudah terbiasa hidup dalam sistem yang menukar kecerdasan dengan popularitas?
Dalam demokrasi yang matang, kecerdasan rakyat melahirkan pemimpin yang bijak. Tapi di negeri ini, yang terjadi justru sebaliknya: kualitas pemimpin mencerminkan keberhasilan sistem dalam membius rakyatnya. Kita diminta percaya bahwa pembangunan berarti proyek, bukan perencanaan; bahwa kemajuan berarti kemegahan, bukan keberadaban.
Kini, melalui Purbaya, kita disuguhi secercah harapan: bahwa masih ada pejabat yang berpikir dengan kepala, bukan dengan selera kekuasaan. Namun pertanyaan paling getir tetap sama—apakah bangsa ini cukup dewasa untuk menghargai kecerdasan?
Sebab jika kebodohan telah menjadi pilihan kolektif, maka setiap upaya untuk berpikir akan selalu tampak seperti ancaman.























