Jakarta, Fusilatnews – Kamis (18/9/2025) lalu, Juru Bicara Kementerian Pertahanan RI Brigjen Frega Wenas Inkiriwang di hadapan awak media menyampaikan bahwa penempatan militer untuk menjaga sejumlah fasilitas umum di Indonesia, hal ini juga terjadi di Amerika Serikat (AS). Menurut Frega, kondisi fasilitas umum AS yang dijaga tentara, berdasarkan informasi yang ia terima, justru membuat tingkat kriminalitas menurun.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan memandang, pernyataan Jubir Kemhan itu kurang tepat.
“Membandingkan antara satu negara dengan negara lain yang memiliki sistem serta konstruksi angkatan bersenjata yang berbeda adalah tidak apple to apple (tak sebanding). Indonesia adalah negara kesatuan, sementara AS adalah negara federal. Keduanya memiliki sejarah militer yang berbeda dan konstruksi angkatan bersenjata yang dimiliki masing-masing pun berbeda,” kata Usman Hamid dari Amnesty Internasional Indomesia yang merupakan bagian dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan di Jakarta, Sabtu (20/9/2025).
Usman memandang, pernyataan Jubir Kemhan yang membenarkan pelibatan TNI dalam menjaga keamanan dalam negeri di Indonesia dengan merujuk pada pelibatan tentara dalam menjaga keamanan dalam negeri di AS adalah pernyataan keliru.
“Saat ini di beberapa negara bagian di AS terkait kebijakan Presiden Donald Trump yang mengerahkan tentara (National Guard) di beberapa negara bagian di AS dikritik rakyat Amerika bahkan digugat oleh pemerintah negara-negara bagian AS. Misalnya, Pemerintah Negara Bagian California (Gubernur) telah menggugat kebijakan tersebut ke pengadilan federal AS. Hasil keputusan Pengadilan Federal tersebut adalah pelibatan militer ilegal, merujuk pada Posse Comitatus Act,” kata Usman.
Kebijakan yang sama, katanya, juga terjadi di Washington DC dan sedang digugat di Pengadilan Federal oleh Jaksa Agung Washington DC.
“Dengan demikian salah dan keliru jika Kemhan RI menjadikan AS sebagai contoh untuk menjustifikasi pelibatan TNI dalam keamanan dalam negeri di Indonesia karena di AS saja pengadilan telah menyatakannya Ilegal,” jelasnya.
Usman juga menilai pembandingan dengan AS yang menganggap pelibatan militer di sana mengurangi angka kriminalitas tidak memiliki basis ilmiah yang jelas.
“Naik-turunnya angka kriminalitas bukan karena pelibatan militer. Banyak faktor yang memengaruhi naik-turunnya angka kriminalitas di AS. Bahkan berdasarkan data yang ada, pengerahan pasukan di beberapa negara bagian dilakukan di wilayah yang angka kriminalitasnya sedang menurun. Sehingga pengerahan pasukan di beberapa wilayah di AS lebih bersifat politis ketimbang karena masalah kriminalitas,” paparnya.
Hal itulah, lanjut Usman, yang menyebabkan kebijakan tersebut digugat karena berlebihan, tidak proporsional, dan melanggar hukum.
Ia juga memandang pembandingan dengan AS di bawah kepemimpinan Donald Trump adalah berbahaya dan keliru.
“Pemerintahan Trump adalah rezim yang dikritik dan disoroti baik di dalam maupun di luar negeri akibat kebijakan yang anti-demokrasi atau pro-fasisme. Dengan meniru AS, berarti Kemhan sedang mengarahkan rezim pemerintahan di Indonesia ke arah rezi yang anti-demokrasi atau pro-fasisme, salah satunya terkait isu pelibatan militer di ranah sipil,” terangnya.
Pelibatan TNI akhir-akhir ini di Indonesia dalam menjaga keamanan dalam negeri, semisal yang terbaru menjaga Gedung DPR RI, dinilai Usman berlebihan, tidak proporsional, dan keluar jauh dari fungsi sejatinya sebagai alat pertahanan negara.
“Lebih dari itu, berdasarkan konstitusi seharusnya bukan Menteri Pertahanan yang melibatkan militer dalam wilayah sipil, melainkan hal tersebut adalah kewenangan Presiden. Selain itu, semestinya dalam kondisi normal dan damai seperti saat ini secara konstitusional fungsi TNI adalah fungsi pertahanan bukan keamanan, sehingga TNI tidak perlu terlalu jauh terlibat dalam urusan dalam negeri,” tukasnya.
Upaya memaksakan pelibatan TNI dalam wilayah sipil, lanjut Usman, tidak sesuai dengan suara rakyat sebagaimana tercantum dalam Tuntutan 17+8 yang menghendaki militer kembali ke barak, menghentikan keterlibatannya dalam pengamanan sipil, dan tidak memasuki ruang sipil.
Selain Amnesty Internasional Indonesia, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri atas Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI, Elsam, Human Right Working Group (HRWG), Walhi, Setara Institute, Centra Initiative, Indonesia Corruption Watch (ICW), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, LBH Pers, LBH Masyarakat, LBH Surabaya Pos Malang, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), BEM SI, De Jure, Raksha Initiative, LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI).