Fusilatnews – Polisi kini berada dalam posisi dilematis. Jika mereka menghentikan kasus ijazah Jokowi, publik akan menafsirkan bahwa memang ada sesuatu yang keliru dalam rekam jejak pendidikan sang mantan presiden. Namun, jika kasus ini terus diproses, stigma bahwa POLRI hanyalah tameng politik Jokowi sulit dihindari. Pilihan kedua inilah yang saat ini tampak dominan: penyidikan berjalan, pemanggilan saksi dan terlapor terus bergulir, dan narasi “penegakan hukum sesuai SOP” dijadikan legitimasi.
Bagi publik, dilema ini tidak sesederhana soal prosedur hukum. Demonstrasi Agustus dengan tuntutan 17 + 8—adili Jokowi dan makzulkan Gibran—telah menegaskan bahwa persoalan ijazah hanyalah pintu masuk. Ada akumulasi kekecewaan yang jauh lebih luas: dari dugaan nepotisme politik, penyalahgunaan lembaga negara, hingga perasaan dikhianati oleh pemimpin yang dulu dijanjikan merakyat. Polisi, dengan segala kewenangan yang dimilikinya, kini terseret ke dalam pusaran politik yang bukan murni domain mereka.
Nasib Roy Suryo, Abraham Samad, Rismon Sianipar, dan sederet nama lainnya pasca demo Agustus pun berada di persimpangan. Mereka bukan hanya menghadapi risiko pidana karena laporan Jokowi, tetapi juga berpotensi menjadi simbol perlawanan publik. Jika aparat terlalu keras, mereka akan dipersepsikan sebagai martir demokrasi; jika kasus ini berhenti di tengah jalan, narasi kebenaran atas dugaan ijazah palsu akan semakin sulit ditekan.
Dalam konteks lebih besar, gerakan 17 + 8 membuka ruang bagi pertarungan legitimasi. Jokowi memang tidak lagi presiden, tetapi warisannya masih hidup melalui Gibran yang kini menduduki kursi wakil presiden. Pemidanaan terhadap pengkritik Jokowi secara otomatis dipandang publik sebagai perlindungan tidak langsung terhadap Gibran. Maka, setiap langkah hukum polisi justru akan diukur oleh rakyat bukan dengan parameter hukum, melainkan dengan kacamata politik: apakah polisi berdiri di sisi keadilan atau sekadar membentengi kekuasaan.
Situasi ini menempatkan Roy Suryo Cs pada posisi unik: mereka bisa saja menjadi korban kriminalisasi, tetapi pada saat yang sama juga bisa menjelma ikon resistensi. Sejarah politik Indonesia tidak kekurangan contoh bagaimana individu yang ditekan oleh rezim kemudian berbalik menjadi simbol perjuangan rakyat. Jika tuntutan 17 + 8 terus bergema, bukan tidak mungkin nama-nama ini akan dikenang lebih dari sekadar tersangka kasus ujaran, melainkan sebagai pion awal dari babak baru perlawanan terhadap dinasti politik.