Fusilatnews – Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara resmi menolak gagasan khilafah. Istilah itu diposisikan sebagai ancaman bagi persatuan bangsa. Namun, jika ditelaah lebih dalam, justru negara ini telah mengadopsi dan melaksanakan sebagian hukum syariah Islam dalam berbagai aspek kehidupan publik. Inilah paradoks yang kerap luput dibicarakan.
Pertama, zakat. Kewajiban umat Islam untuk menyucikan harta ini tidak lagi hanya urusan pribadi, tetapi dikelola secara resmi oleh negara melalui Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). Regulasi bahkan memberikan insentif berupa pengurangan pajak bagi muzakki.
Kedua, haji. Pelaksanaan rukun Islam kelima sepenuhnya menjadi domain negara. Kementerian Haji, baru saja di bentuk, akan mengatur kuota, biaya, transportasi, hingga akomodasi jamaah. Artinya, negara mengambil peran besar dalam memastikan terlaksananya kewajiban ibadah umat.
Ketiga, pernikahan. Bagi umat Islam, pernikahan sah bila dilakukan sesuai syariat dan dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA). Negara dengan demikian mengakui legitimasi hukum Islam sebagai dasar sah-tidaknya ikatan perkawinan Muslim.
Keempat, waris. Melalui Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Pengadilan Agama, negara memberikan ruang bagi hukum waris Islam untuk diberlakukan. Dengan ini, hukum syariah hidup berdampingan dengan hukum perdata nasional.
Kelima, perbankan syariah. Dalam ranah ekonomi modern, negara bahkan mendirikan dan mengawasi lembaga keuangan syariah, termasuk Bank Syariah Indonesia (BSI) yang lahir dari penggabungan tiga bank syariah milik negara. Sistem ini beroperasi dengan prinsip larangan riba, bagi hasil, dan akad-akad syariah. Artinya, syariat Islam diintegrasikan ke dalam sistem keuangan resmi negara.
Jika dilihat dari kacamata politik Islam klasik, penerapan zakat, haji, pernikahan, waris, hingga perbankan syariah merupakan ciri dari pelaksanaan hukum Islam—yang dalam khilafah menjadi salah satu fungsi utama negara. Namun, Indonesia menolak disebut khilafah.
Mengapa demikian? Sebab sejak awal berdiri, Indonesia adalah hasil kompromi antara kelompok nasionalis dan Islamis. Negara ini memilih jalan tengah: tidak sekuler murni, tetapi juga tidak menjadikan Islam sebagai dasar negara. Maka syariah dijalankan secara “selektif”—diterapkan dalam bidang tertentu yang menyangkut kebutuhan umat mayoritas dan stabilitas sosial, namun ditolak sebagai ideologi politik global.
Paradoks ini melahirkan wajah unik Indonesia: menolak khilafah secara ideologis, tetapi menjalankan syariah secara institusional. Negara kita ibarat menegakkan prinsip pluralisme sekaligus memelihara warisan syariah. Apakah ini bentuk kebijaksanaan kompromi, atau justru sikap ambigu yang menunjukkan ketakutan negara pada label khilafah? Pertanyaan ini tetap terbuka, menunggu jawaban sejarah.