Oleh: Entang Sastraatmadja
Serakahnomic—paduan kata serakah dan ekonomi—lahir sebagai istilah satir untuk menggambarkan model ekonomi rakus yang berjalan tanpa rem etika: fokusnya menumpuk laba pribadi, sementara dampaknya dibuang ke masyarakat dan lingkungan. Ia bukan sekadar tabiat individual, tetapi skema sistemik ketika rantai nilai dikuasai segelintir pelaku raksasa, sementara produsen akar rumput hanya kebagian serpihan.
Serakahnomic tumbuh subur oleh kombinasi faktor berbahaya: kerakusan elite bisnis, lemahnya regulasi dan pengawasan, maraknya korupsi dan penyalahgunaan kuasa, ketimpangan sosial-ekonomi, serta budaya yang menuhankan keuntungan materiil di atas keadilan. Tanpa law enforcement yang kuat, ia berubah menjadi penyakit struktural yang menggerogoti sendi ekonomi bahkan martabat kebangsaan.
Di sektor pangan, gejala ini berjalan lebih brutal. Bukan sekadar transaksi pasar yang timpang, melainkan operasi oligarki yang mengatur hulu hingga hilir suplai: gabah diatur, kualitas beras dimanipulasi, subsidi dinikmati yang besar-besar, sementara yang kecil satu per satu kolaps. Inilah Oligopangan—ekonomi pangan yang bukan lagi digerakkan oleh kebutuhan rakyat, melainkan oleh selera akumulasi kekuasaan modal.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman secara tegas menyatakan komitmennya melawan Serakahnomic di dunia pertanian. Ia membuka tabir bahwa fenomena ini bukan kecelakaan, melainkan strategi pemain besar untuk menguasai rantai pasok, menyingkirkan daya tawar petani, dan memukul mati penggilingan kecil. Dalam banyak kesempatan, isu mafia pangan dan dominasi rantai suplai juga telah disorot Presiden Prabowo Subianto—pertanda bahwa problem ini telah menjadi ancaman nasional yang tidak lagi bisa diselesaikan setengah hati.
Wajah Serakahnomic dalam Pangan Indonesia terlihat jelas melalui praktik berikut:
Manipulasi Kualitas Beras
Pencampuran beras premium dengan beras mutu rendah, lalu dijual sebagai “kelas atas”. Konsumen tertipu, petani premium dihargai murah. Ini ekonomi yang menang di label, tapi curang di meja makan.Penekanan terhadap Penggilingan Kecil
Gabah dari petani ditekan harganya oleh jaringan besar, membuat penggilingan lokal tak mampu bersaing. Mereka yang dulu jadi mitra petani, kini tumbang karena tak kebagian ruang pasar.Penyerapan Subsidi yang Salah Sasaran
Subsidi dan kemudahan impor yang mestinya menjadi bantalan rakyat, malah jadi kasur empuk para konglomerat. Negara hadir—tapi keliru memeluk.
Model ekonomi seperti ini bukan hanya merusak pemain kecil, tetapi juga menimbulkan instabilitas harga, melemahkan ketahanan pangan, dan memutus generasi petani dari keyakinan bahwa sawah dan ladang masih punya masa depan.
Melawan Serakahnomic di sektor pangan membutuhkan koreksi total, bukan kosmetik kebijakan. Beberapa langkah strategis yang harus dikunci:
Pengawasan dan Penegakan Hukum yang Tanpa Kompromi
Negara wajib menempatkan mafia pangan sebagai musuh publik, bukan mitra dagang terselubung.Regulasi Pasar Pangan yang Efektif dan Pro-Produsen Lokal
Harga, kualitas, distribusi harus punya pagar kebijakan yang adil dan tegas.Pemberdayaan Petani sampai ke Akses Pasar & Teknologi
Petani bukan obyek bantuan, tapi subyek produksi—harus diperkuat di hulu, dimenangkan di hilir.Transparansi & Akuntabilitas Data Pangan Nasional
Angka produksi, impor, stok, kualitas, dan harga harus terbuka—publik berhak menilai, bukan sekadar membeli.Keberpihakan Nyata pada UKM & Penggilingan Lokal
Yang kecil jangan hanya dirayakan saat kampanye, lalu dilupakan saat transaksi.Percepatan Infrastruktur Pangan untuk Efisiensi Distribusi
Gudang, pasar, transportasi, logistik harus menurunkan biaya, bukan menaikkan kecurangan.
Ketahanan pangan adalah roadmap peradaban bangsa. Jika dikuasai ekonomi rakus, yang tumbuh bukan lumbung—tapi jurang. Maka, perang terhadap Serakahnomic di dunia pangan bukan slogan aktivis, melainkan syarat historis bagi bangsa yang ingin tetap berdaulat di tanah merdeka sendiri.
Semoga cita-cita keadilan pangan bukan hanya wacana, melainkan realita di setiap butir nasi yang sampai ke piring rakyat.
Semoga demikian adanya!
(Penulis adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat)

Oleh: Entang Sastraatmadja























