Oleh: Entang Sastraatmadja
Pangan lokal adalah makanan yang diproduksi dan dikonsumsi di daerah setempat, yang merefleksikan kearifan lokal sekaligus menjaga keanekaragaman hayati. Sejak lama, isu ini dibicarakan. Bahkan, sebelum bubar, Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian telah menyusun Roadmap Pengembangan Pangan Lokal di Indonesia.
Namun, pertanyaan mendasar muncul: apakah roadmap tersebut kini benar-benar dilanjutkan oleh Badan Pangan Nasional? Rasanya tidak. Jangankan mengembangkan pangan lokal, untuk menghidupi lembaga itu saja pimpinan Badan Pangan Nasional sudah harus berpikir keras, mengingat terbatasnya anggaran yang disediakan pemerintah maupun DPR.
Padahal, pengembangan pangan lokal menyimpan banyak manfaat. Mulai dari menjaga keanekaragaman hayati, mengurangi ketergantungan impor, meningkatkan pendapatan petani lokal, melestarikan budaya dan tradisi, hingga menyehatkan masyarakat dengan konsumsi makanan alami.
Setiap daerah di Nusantara punya kekayaan pangan lokal yang khas. Jawa Barat memiliki nasi timbel, peuyeum, sate maranggi, hingga karedok. Jawa Tengah dengan gudeg, sate klathak, nasi langgi, dan akpia Pathuk. Jawa Timur terkenal dengan rawon, rujak cingur, sate klopo, hingga nasi krawu. Sumatera dikenal dengan rendang, sate Padang, hingga martabak telur. Dari Kalimantan ada nasi kuning dan roti gong, Sulawesi dengan coto Makassar dan nasi jaha, Bali dengan sate lilit dan lawar, sementara Papua punya papeda dan ikan bakar. Semua itu bukti betapa kayanya khazanah pangan lokal kita.
Sayangnya, pengembangan pangan lokal terkesan jalan di tempat. Berbagai persoalan menghadang dari hulu ke hilir. Dari sisi produksi, kita masih bergantung musim tanam, kekurangan lahan, terbatas teknologi modern, sumber daya air, hingga serangan hama. Dari distribusi, infrastruktur lemah, ongkos transportasi mahal, akses pasar terbatas, kualitas kurang diawasi, dan distribusi tidak merata. Dari sisi konsumsi, masyarakat masih lebih memilih pangan impor, kurang edukasi gizi, serta minim kesadaran pentingnya pangan lokal.
Belum lagi masalah kualitas yang terhambat oleh lemahnya pengawasan, penggunaan bahan kimia, standar mutu yang tidak seragam, hingga risiko kontaminasi. Dari sisi ekonomi, biaya produksi tinggi, akses kredit terbatas, hingga harga yang fluktuatif.
Karena itu, arah pengembangan pangan lokal harus jelas: memperkuat teknologi pertanian modern yang ramah lingkungan, membangun infrastruktur, menggalakkan kampanye konsumsi pangan lokal, memperketat pengawasan kualitas, hingga mengembangkan industri pengolahan yang berbasis pangan daerah. Tak kalah penting, perlu sinergi antara petani, pemerintah, dan swasta.
Di masa depan, pangan lokal akan berhadapan dengan tantangan besar: dampak perubahan iklim yang memicu gagal panen, ketergantungan pada sistem pangan global yang tidak berkelanjutan, dan penyempitan keragaman pangan akibat fokus hanya pada beberapa komoditas. Meski begitu, peluang tetap terbuka: pertanian ekologis, promosi pangan lokal yang beragam, serta pembangunan sistem pangan berkelanjutan dan mandiri.
Yang jelas, membangun kesadaran konsumsi pangan lokal adalah pekerjaan panjang dan berat. Merubah pola makan masyarakat agar tidak bergantung pada beras, misalnya, membutuhkan perjuangan, kampanye yang konsisten, dan dukungan politik yang nyata.
Pangan lokal bukan sekadar alternatif, melainkan strategi penting untuk memperkuat ketahanan pangan nasional. Diversifikasi pangan harus menjadi program serius, dengan kemauan politik yang tegas dan konsisten dari pemerintah. Karena, hanya dengan begitu, kita bisa lepas dari jebakan ketergantungan impor yang semakin mencekik.
(Penulis, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat)