OLEH: ENTANG SASTRAATMADJA
Beberapa waktu lalu, ramai diberitakan bahwa di hadapan Komisi IV DPR RI, Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman memaparkan rencana kerja dan pagu anggaran Kementerian Pertanian (Kementan) untuk tahun 2026. Ia menegaskan bahwa fokus utama Kementan tetap pada penguatan kedaulatan pangan, sejalan dengan tema Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2026: kedaulatan pangan dan energi, serta ekonomi yang produktif dan inklusif.
Dalam paparannya, Mentan Amran menguraikan sejumlah program prioritas, antara lain peningkatan produksi padi, jagung, dan komoditas strategis lain; cetak sawah baru dan optimasi lahan; penyediaan air untuk pertanian; penyiapan benih unggul, alat dan mesin pertanian (Alsintan), serta pupuk subsidi; penyuluhan dan regenerasi petani; hingga hilirisasi produk pertanian.
Namun di balik rencana yang tampak visioner itu, terdapat realitas lapangan yang masih sarat tantangan. Kondisi pertanian Indonesia hingga kini belum beranjak dari sejumlah persoalan klasik yang terus berulang.
Pertama, penggunaan teknologi pertanian modern masih jauh dari ideal. Banyak petani belum memiliki akses terhadap inovasi teknologi yang dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi. Kedua, perubahan iklim menjadi ancaman serius. Pola curah hujan tak menentu dan suhu ekstrem sering mengacaukan siklus tanam serta menimbulkan kerugian besar bagi petani.
Ketiga, ketergantungan pada impor pangan. Indonesia masih harus mengimpor sejumlah komoditas strategis untuk memenuhi kebutuhan domestik, yang pada akhirnya melemahkan ketahanan pangan nasional. Keempat, kesenjangan antarwilayah. Kawasan-kawasan pertanian tertinggal yang minim infrastruktur dan akses transportasi masih menjadi potret ketimpangan pembangunan sektor ini.
Pemerintah sebenarnya telah menggulirkan berbagai program untuk mengatasi persoalan tersebut—mulai dari peningkatan produksi pangan, pengembangan usaha agribisnis, hingga pembangunan infrastruktur pertanian di daerah tertinggal. Namun semua itu akan sulit berkelanjutan jika tidak disertai regenerasi petani yang nyata.
Krisis Regenerasi Petani
Fakta menunjukkan bahwa regenerasi petani di Indonesia tengah menghadapi krisis serius. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019 menunjukkan hanya sekitar 8% petani berusia 20–39 tahun, atau sekitar 2,7 juta orang. Sebaliknya, 91% petani berusia di atas 40 tahun. Bahkan, dalam periode 2017–2018 terjadi penurunan 415.789 petani muda.
Beberapa faktor penyebabnya cukup kompleks. Urbanisasi dan modernisasi membuat generasi muda lebih tertarik pada pekerjaan perkotaan yang dianggap lebih bergengsi dan menjanjikan. Selain itu, mereka juga menghadapi kendala akses terhadap lahan, modal, dan teknologi. Ketidakpastian iklim dan rendahnya jaminan kesejahteraan semakin memperburuk keadaan. Akibatnya, dunia pertanian kehilangan daya tariknya bagi anak muda.
Krisis regenerasi ini berpotensi menimbulkan efek domino: menurunnya produktivitas pertanian, meningkatnya ketimpangan sosial-ekonomi di pedesaan, dan yang paling mengkhawatirkan, terancamnya keberlanjutan kedaulatan pangan.
Membangun Daya Tarik Baru untuk Petani Muda
Untuk menjawab tantangan tersebut, beberapa langkah perlu menjadi prioritas. Pertama, meningkatkan kesadaran dan minat generasi muda melalui pendidikan dan promosi mengenai potensi besar sektor pertanian sebagai bidang usaha modern. Kedua, memperluas akses terhadap sumber daya—baik lahan, modal, maupun teknologi—serta menyediakan pelatihan dan pendampingan yang relevan.
Ketiga, mendorong pertanian digital dan inovatif seperti sistem hidroponik, smart farming, dan agroeduteknopark agar sektor ini tampil lebih menarik bagi generasi muda yang melek teknologi. Keempat, memperkuat sistem pembiayaan yang inklusif bagi petani muda, dengan akses kredit lunak dan perlindungan sosial yang memadai.
Pemerintah memang telah meluncurkan sejumlah inisiatif seperti pengembangan pertanian cerdas dan agroeduteknopark, namun hasilnya belum menunjukkan perubahan signifikan. Regenerasi petani masih menjadi pekerjaan rumah besar yang menentukan masa depan pertanian Indonesia.
Kedaulatan pangan tidak hanya soal berapa hektare sawah baru dicetak atau berapa ton beras dihasilkan, tetapi tentang siapa yang akan terus menanam padi itu di masa depan.
Tanpa petani muda, kedaulatan pangan hanyalah slogan di atas meja rapat.

OLEH: ENTANG SASTRAATMADJA






















