Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Calon Pimpinan KPK 2019-2024
Jakarta – Benar kata Voltaire (1694-1778): dalam urusan uang, semua orang punya “agama” yang sama.
Korupsi adalah urusan uang. Artinya, dalam urusan korupsi pun, semua orang punya “agama” yang sama. Apa pun agama seseorang, dia berpotensi melakukan korupsi. Korupsi tak terkait agama. Ini valid!
Contoh kasus terbaru adalah di Jepara, Jawa Tengah. Tiga dari lima tersangka korupsi pencairan kredit usaha pada PT Bank Jepara Artha yang merugikan keuangan negara hingga 254 miliar rupiah, kata Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Asep Guntur Rahayu, menggunakan sebagian uang hasil korupsinya untuk biaya ibadah umrah ke tanah suci Makkah Al Mukaromah dan Madina Al Munawaroh di Arab Saudi.
KPK kini juga sedang menangani kasus korupsi pengaturan kuota haji tahun 2024 di Kementerian Agama yang merugikan keuangan negara hingga 1 triliun rupiah. Dalam kasus ini, KPK telah mencegah bekas Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas keluar negeri, dan juga telah menggeledah rumah kediaman bekas Ketua Umum Gerakan Pemuda (GP) Ansor itu di Jakarta.
Jauh sebelum ini, KPK juga telah mengungkap kasus korupsi pengadaan mushaf Al Quran di Kementerian Agama.
Bagaimana bisa orang menggunakan uang hasil korupsi untuk biaya umrah?
Sebelum ini juga sudah banyak tersangka korupsi yang menggunakan uang hasil korupsi untuk umrah bahkan haji, dan juga membiayai sanak saudara dan pegawainya beribadah haji atau umrah. Termasuk bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.
Bagaimana bisa korupsi terjadi di kementerian yang mengurus soal agama, dan tentu saja soal iman dan akhlak?
Sebelum ini, dua bekas Menteri Agama juga terlibat korupsi, yakni Said Agil Husein Al Munawar dan Suryadharma Ali. Jika nanti Yaqut menjadi tersangka, berarti akan terjadi “hattrick” atau tiga kali berturut-turut bekas Menag terlibat korupsi.
Bagaimana bisa proyek pengadaan kitab suci Al Quran dikorupsi? Bukankah Al Quran itu sendiri berisi larangan Allah SWT bagi umat Islam untuk korupsi?
Sekali lagi, benar kata Voltaire, filsuf asal Perancis itu: dalam urusan uang, semua orang punya “agama” yang sama.
Artinya, korupsi tak mengenal agama. Siapa pun orangnya, apa pun agamanya, bisa terlibat korupsi. Sebab yang mereka lihat adalah uang.
Ada dua motif korupsi. Pertama adalah kebutuhan. Seseorang melakukan korupsi karena terdesak oleh kebutuhan hidup. Ini namanya “corruption by need” atau korupsi karena kebutuhan. Yang terlibat dalam kasus ini adalah pegawai-pegawai kecil yang nominal korupsinya juga kecil.
Kedua adalah keserakahan. Seseorang melakukan korupsi karena keserakahan. Ini namanya “corruption by greed” atau korupsi karena keserakahan. Yang terlibat dalam kasus ini adalah pejabat-pejabat tinggi atau orang-orang kaya dengan nominal korupsi yang sangat besar.
Ada korupsi yang nominalnya mencapai satu triliun rupiah. Ini terjadi pada bekas pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar, misalnya.
Ada korupsi dengan kerugian keuangan negara mencapai puluhan triliun rupiah, misalnya korupsi di PT Jiwasraya dan PT Asabri.
Bahkan ada kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai ratusan triliun rupiah. Misalnya korupsi di PT Timah dan anak usaha PT Pertamina.
Alhasil, ketika sudah melihat uang, maka seseorang akan lupa dengan agamanya. Apa pun agama itu. Mereka seolah tidak beragama. Beragama atau tidak beragama, perilaku mereka sama saja kalau sudah menyangkut uang.