Fusilatnews – Jepang selalu mempromosikan diri sebagai negeri disiplin: efisien, rapi, dan berorientasi masa depan. Di mata dunia, negara ini adalah magnet impian bagi pelajar, talenta profesional, bahkan keluarga yang mencari stabilitas hidup baru. Namun, di balik gemerlap peluang, pemerintah Jepang diam-diam sedang menata ulang pintu masuknya—dan kali ini, yang jadi sorotan bukan kebijakan seleksi talenta, melainkan ongkos administratif yang melambung, yaitu biaya visa dan izin tinggal bagi warga asing.
Kenaikan Gelombang Pertama: April 2025
Data yang sudah terkonfirmasi menyebut, mulai 1 April 2025, ada penyesuaian tarif administrasi imigrasi:
- Biaya perpanjangan atau perubahan status izin tinggal naik dari ¥4,000 menjadi ¥6,000 untuk pengajuan langsung, dan ¥5,500 bila diajukan secara online.
- Sementara itu, biaya pengajuan Permanent Residency (PR) naik dari ¥8,000 menjadi ¥10,000.
Kenaikan ini—meski terasa bagi sebagian imigran—masih berada dalam kategori “bisa diterima”. Banyak ekspat menyebutnya sebagai kenaikan wajar di tengah inflasi dan tuntutan digitalisasi layanan imigrasi.
Tapi Jepang sepertinya tak berhenti di sini.
Ancang-Ancang Tsunami Biaya: 2026 dan Seterusnya
Kini berkembang laporan bahwa pemerintah Jepang berencana menaikkan lagi secara drastis biaya residence renewal dan pengajuan PR, sebagai upaya menyelaraskan standar tarif dengan negara maju lain dan menutup beban administrasi yang meningkat seiring pertumbuhan jumlah penduduk asing.
Angka yang beredar bukan lagi hitungan ribu yen, melainkan enam digit yen:
- Perpanjangan atau perubahan izin tinggal diperkirakan naik menjadi ¥30,000–¥40,000 per proses.
- Pengajuan PR bisa melonjak hingga ¥100,000 atau lebih.
- Kenaikan ini diusulkan agar biaya layanan imigrasi mencerminkan biaya operasional riil yang sekarang banyak ditanggung negara.
Artinya?
Dari semula ¥6,000 perpanjangan, bisa jadi naik 5–6× lipat sekaligus dalam satu langkah kebijakan.
Sementara bagi yang berburu status permanen, loncatan dari ¥10,000 ke ¥100,000 bukan kenaikan—itu bantingan pintu.
Dampaknya: Lebih Perih dari Sekadar Angka
Bagi warga asing yang sudah tinggal di Jepang, kebijakan ini berpotensi menjadi beban baru yang tak main-main. Perpanjangan izin tinggal bagi pelajar dan pekerja kerap dilakukan 1 tahun sekali, terutama bagi pemegang visa kerja kontrak dan student visa. Bila materai administrasi berubah menjadi ¥100,000 per proses tiap tahun, itu setara dengan menabung 1 juta ruoiah lebih per bulan hanya untuk secarik revenue stamp—belum biaya dokumen, terjemah, birokrasi pendukung, bahkan penggunaan jasa legal advisor.
Untuk keluarga, bebannya makin brutal. Jika skema ¥300,000–¥305,000 per orang (berdasarkan proyeksi agen administrasi, bukan tarif April 2025) diterapkan pada pengajuan PR kolektif, maka keluarga 4 orang bisa menanggung beban lebih dari ¥1,200,000 sekadar untuk status permanen—belum ongkos hidup yang memang sudah mahal di Jepang. Ini memukul lapisan warga asing yang gajinya “selalu separuh habis”, namun mimpi hidupnya “Jepang-quality banget”.
Sementara itu, bagi publik Indonesia yang berencana ke Jepang, kabar kenaikan ini bekerja sebagai alarm psikologis: Mau susah payah cari kerja di sana, harus siap dulu bayar mahal di awal. Padahal, yang diincar bukan hanya gaji, melainkan reputasi: pengalaman global, pendidikan tinggi, peluang karier. Tapi ketika biaya administrasi tumbuh jadi pagar yang tinggi, Jepang tak lagi terasa seperti peluang—melainkan privilege yang mahal untuk dibeli.
Persoalan yang Lebih Luas: Administrasi sebagai Filter Kelas
Narasi resmi menyatakan ini demi keselarasan tarif dengan negara maju, dan demi menutup beban layanan. Tapi muncul pertanyaan yang lebih subtil:
Apakah ini cara baru Jepang memfilter warga asing bukan berdasarkan kompetensi, melainkan kemampuan finansial?
Jika iya, maka kebijakan ini bukan sekadar soal imigrasi. Ini soal ketimpangan akses terhadap mobilitas global, ketika “orang dunia ketiga yang mau naik kelas global” malah disambut tembok yen yang makin menjulang.
Bila tren ini benar terjadi:
Komunitas diaspora perlu menyuarakan advokasi kebijakan yang tetap ramah bagi talenta, bukan hanya ramah bagi dompet tebal.
Sebab, jika administrasi lebih keras dari seleksi talenta, maka persoalannya bukan lagi soal siapa yang pantas ke Jepang, tapi siapa yang sanggup membayar agar bisa tetap di Jepang.

























