Fusilatnews – Putri Presiden Pertama Republik Indonesia, Kartika Sari Dewi Soekarno, akhirnya menunaikan ziarah ke makam ayahandanya, Ir. Soekarno, di Blitar, Jawa Timur. Momen yang sarat makna ini menjadi catatan penting, bukan hanya bagi perjalanan spiritual Kartika, melainkan juga bagi sejarah keluarga sang Proklamator. Setelah penantian panjang selama 55 tahun, Kartika tampak bersimpuh khusyuk di pusara Bung Karno, ditemani putranya, Frederik Kiran Soekarno Seegers, cucu sang bapak bangsa.
“Today Blitar #myfather #prayers,” tulis Kartika dalam unggahan Instagram-nya, Rabu (17/9/2025), yang memperlihatkan potret dirinya sedang berdoa dengan tenang.
Pertama Kali Kembali Sejak Usia Tiga Tahun
Kunjungan Kartika kali ini bukan sekadar ziarah biasa, melainkan sebuah perjalanan panjang yang penuh muatan emosional. Ia mengaku terakhir kali menapakkan kaki di Blitar pada 1970, saat Bung Karno wafat, dan ketika itu usianya baru tiga tahun.
“Ya sungguh emosional datang ke Blitar, saya datang pertama kali saat usia 3 tahun. Saya selalu berdoa untuk memohon maaf dan dukungan dari Papa,” ucap Kartika dalam wawancara dengan RRI, Senin (15/9/2025).
Dalam kesempatan itu, Kartika bersama putranya menaburkan bunga di makam Bung Karno sebagai bentuk penghormatan. Momen ini menyiratkan bahwa meski jarak dan waktu memisahkan, ikatan batin antara seorang anak dan ayah tetap tak tergantikan.
Rasa Haru dan Perjalanan Spiritual
Selama puluhan tahun, Kartika memang lebih banyak menghabiskan hidupnya di luar negeri. Ia lahir di Tokyo pada 11 Maret 1967 dari pasangan Bung Karno dan Ratna Sari Dewi, seorang perempuan berdarah Jepang yang dinikahi Presiden Soekarno pada 1962. Sejak kecil, Kartika tumbuh di luar Indonesia dan lebih jarang tampil di panggung politik maupun sosial Tanah Air dibandingkan saudara-saudaranya.
Namun, keterasingan geografis itu tidak serta-merta memutuskan keterhubungan spiritualnya dengan tanah air. Kehadiran Kartika di Blitar setelah setengah abad lebih adalah sebuah pengakuan batin, bahwa dirinya tetap menjadi bagian dari sejarah bangsa ini. “Saya merasa seperti pulang ke rumah setelah lama sekali pergi,” ungkapnya.
Bayang-Bayang Politik Orde Baru
Salah satu alasan mengapa Kartika begitu lama tak berziarah adalah faktor politik di masa Orde Baru. Setelah Soekarno dilengserkan pada 1967 dan wafat pada 1970, keluarga besar Bung Karno hidup dalam tekanan politik. Pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto berusaha membatasi kultus dan penghormatan publik terhadap Bung Karno.
Makam Bung Karno di Blitar pun dijaga ketat oleh aparat. Ziarah ke makam sering dianggap sebagai tindakan politis, terutama bila dilakukan oleh keluarga atau pengagum Bung Karno. Kartika, yang sejak kecil dibesarkan di Jepang dan kemudian banyak beraktivitas di Eropa, praktis berada jauh dari hiruk-pikuk politik Indonesia. Hal ini membuat jaraknya dengan makam sang ayah makin panjang.
Bisa dikatakan, perjalanan spiritualnya tertunda oleh sejarah politik bangsa sendiri. Ziarah yang baru terjadi setelah 55 tahun ini seolah menjadi penanda berakhirnya sekat-sekat politik yang dulu membatasi ruang keluarga Bung Karno.
Menjaga Warisan Bung Karno
Meski jauh dari Indonesia, Kartika tidak pernah meninggalkan jejak sang ayah. Ia mendirikan Kartika Soekarno Foundation, sebuah yayasan yang berfokus pada isu pendidikan dan kemanusiaan, dengan perhatian khusus bagi anak-anak di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Kiprahnya ini merupakan wujud nyata dari pesan Bung Karno tentang pentingnya pendidikan dan kesejahteraan rakyat. Melalui yayasan tersebut, Kartika seolah menghidupkan kembali semangat sang Proklamator: membangun bangsa melalui generasi mudanya.
Reaksi Publik dan Tokoh Politik
Kunjungan Kartika segera menjadi sorotan publik dan menimbulkan rasa haru bagi masyarakat, khususnya warga Blitar. Banyak yang melihat momen itu sebagai simbol bahwa keluarga Bung Karno tetap menjaga ikatan batin dengan tanah leluhur meski berbeda jalur hidup.
Sejumlah tokoh politik juga memberikan komentar. Puan Maharani, cucu Bung Karno yang kini aktif di dunia politik, menyambut hangat langkah Kartika. Ia menyebut ziarah itu sebagai “pengingat bahwa Bung Karno bukan hanya milik keluarga, tetapi juga milik bangsa, dan setiap anak-anak beliau punya hak untuk merawat ingatan itu.”
Di media sosial, masyarakat mengekspresikan dukungan dengan menyebut momen tersebut sebagai tanda rekonsiliasi sejarah. Banyak yang menilai, kehadiran Kartika bersama putranya menegaskan keberlanjutan garis keturunan Bung Karno yang tetap menghormati perjuangan sang Proklamator.
Pemerintah daerah Blitar pun menyatakan apresiasi. Wali Kota Blitar menyebut kunjungan Kartika sebagai bukti bahwa makam Bung Karno bukan sekadar situs sejarah, melainkan juga ruang spiritual bagi keluarga dan rakyat Indonesia.
Simbol Rekonsiliasi Sejarah dan Keluarga
Ziarah Kartika Sari Dewi ke makam Bung Karno bukan hanya perjalanan pribadi, tetapi juga simbol rekonsiliasi sejarah. Kehadirannya di Blitar mengingatkan publik bahwa di balik narasi besar seorang bapak bangsa, ada kisah-kisah kecil yang penuh luka, penantian, sekaligus kerinduan seorang anak terhadap ayahnya.
Di tengah dinamika politik dan pergulatan sejarah yang sering kali mengaburkan sisi kemanusiaan Bung Karno, momen ini menjadi pengingat bahwa Soekarno bukan hanya tokoh bangsa, tetapi juga seorang ayah, seorang manusia, yang cintanya terus hidup dalam doa anak-anaknya.