Seruan Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Umum PBB di New York, yang menekankan pentingnya pengakuan Palestina sekaligus membuka jalan bagi pengakuan Indonesia terhadap Israel, menjadi momentum penting dalam membedakan ruang agama dan ruang politik.
Konflik Israel–Palestina sering kali dilihat dalam bingkai keagamaan. Namun, jika agama terus dijadikan poros utama dalam menentukan sikap politik, jalan keluar akan selalu buntu. Agama pada dasarnya mengajarkan rahman~rahim, kasih sayang, dan penghormatan pada kehidupan. Politik, sebaliknya, adalah arena kepentingan, kompromi, dan pencarian solusi yang nyata. Menyatukan keduanya tanpa garis pembeda yang jelas hanya akan melahirkan kebingungan: ketika politik dipolitisasi dengan dalih agama, maka agama justru terjebak dalam arena konflik kekuasaan.
Pidato Prabowo memberikan pesan bahwa pengakuan sebuah negara bukan soal keyakinan, melainkan soal legitimasi politik dan hak hidup sebuah bangsa. Palestina berhak diakui sebagai negara, dan Israel pun berhak hidup dengan jaminan keamanan. Dalam kerangka ini, berdamai atau berkawan jauh lebih terhormat daripada terus menumpuk musuh. Musuh hanya melahirkan dendam dan siklus kekerasan, sementara kawan menciptakan pintu dialog dan rekonsiliasi.
Kita belajar bahwa perdamaian tidak lahir dari pengucilan, melainkan dari keberanian mengakui eksistensi pihak lain. Deklarasi New York yang disebut Prabowo bukan hanya dokumen politik, tetapi simbol upaya dunia untuk keluar dari perang identitas yang melelahkan. Ketika politik mampu berjarak dari sentimen agama, jalan damai akan lebih mudah dibuka.
Indonesia, dengan posisinya sebagai negara mayoritas Muslim tetapi juga demokrasi besar, punya peran moral sekaligus strategis untuk menunjukkan bahwa memperjuangkan Palestina tidak berarti menolak Israel sebagai negara. Sebaliknya, mengakui keduanya justru memberi bobot pada prinsip universal: bahwa setiap bangsa, apa pun agamanya, berhak atas tanah air, martabat, dan keamanan.
Membedakan agama dan politik bukan berarti menafikan peran agama dalam kehidupan publik, melainkan menempatkannya secara proporsional. Agama memberi nilai moral, politik menjalankan strategi. Jika keduanya bekerja pada tempatnya, maka dunia akan lebih mudah meraih apa yang disebut Prabowo sebagai “perdamaian sejati bagi semua pihak.”
Dan pada akhirnya, kita mesti mengakui: mempertahankan musuh itu mudah, tetapi membangun kawan jauh lebih sulit. Justru karena sulit itulah, berkawan selalu lebih mulia.