Pamakzulan Presiden RI, rinci tertulis dalam pasal 7a UUD 45. Saya pernah menulis, betapa sulitnya membawa Presiden ke pemakjulan, bila “korupsi” sekalipun. Saat itu berfikir, kencuali Presiden melanggar UUD 45, baru dengan mudah, bisa dimakzulkan. Berkaitan dengan layangan surat Prof Denny Indrayana kepada DPRRI, untuk segera memeriksa Jokowi, sebagai langkah proses pemakzulan, karena diduga, Jokowi telah melanggar konstitusi.
Bagaimana kemungkinannya?
Mengutip Twit dari Denny Indrayana “Saya berpendapat Presiden Joko Widodo sudah layak menjalani proses pemeriksaan pemakzulan (impeachment) karena sikap tidak netralnya sudah nampak di depan mata alias cawe-cawe dalam Pilpres 2024. Jokowi bukan hanya melakukan pelanggaran etika, melainkan juga melakukan pelanggaran konstitusi”.
Sebagai seorang pakar hukum tata negara, tentu saja twit tersebut tidak asal tulis. Diawali dengan berbagai alasan dan fakta, sehingga berkesimpulan seperti tertulis itu. Surat rincinya, sudah beredar meluas di tanah air.
Lagi-lagi, pertanyaannya adalah, mungkinkah impeachment itu terjadi? Seperti dilakukan kepada Presiden Gusdur.
Ada beberapa factor yang memungkinkan atau tidak memungkinkan Presiden bisa di impeach. Pertama dua lembaga yang yang bisa mengajukan dan atau menyetujui Presiden bisa di impeach, yaitu DPR RI dan DPD RI, itu harus sepakat (2/3 suara) “Presiden harus dimakzulkan”.
Proses impeachment-nya sendiri, dilakukan dilembaga MPR RI, setelah dinyatakan secara inkrah bahwa Presiden bersalah/melanggar konstitusi (Pasal 7b)
Dari potret diatas, kita sudah dapat membayangkan situasi Lembaga-lembaga tersebut, bagaimana sikapnya terhadap surat DI tersebut.
Lembaga DPR RI, yang dikuasai oleh suara mayoritas 82% adalah koalisinya regime Jokowi. Ini rintangan yang utama (obstacle). Dalam suara yang absolut itu, sulit dipercaya, DPR akan berani atau bisa memakzulkan Presiden.
Selanjutnya, sikap DPD, sampai saat ini, hingar bingar yang terjadi didalam negeri, hampir tidak mendengar ada kepedulian dari mereka yang digaji full oleh rakyat. Jadi no hope.
Lalu persoalan diksi “melanggar konsitusi”, ini harus berketetapan secara yuridis dahulu, baru bisa di naikan ke tingkat pembahasan politik di DPR-DPD dan MPR RI.
Sama halnya dengan bila presiden melakukan tindak pidana korupsi, baru bisa di impeach. Tetapi kata korupsi itu isrtilah hukum/criminal, yang harus terbukti dahulu secara inkrah bahwa yang bersangkutan korupsi. Barulah hukuman bisa di jatuhkan. Mungkinkah jaksa memeriksa Presiden, bila diduga korupsi?
Last but but least, anda percaya dengan MK?
Dengan demikian, surat terbuka Denny Indrayana kepada DPR RI itu, harus dibaca sebagai surat untuk kita semua (Rakyat). Bila Lembaga Legislative (DPR dan DPD) dan Judikatif (MK) tidak bisa menjalankan impeachment tersebut, satu-satunya melalui pemakjulan yang dilakukan oleh pengadilan rakyat (extra constitutional), seperti yang terjadi kepada Bung Karno dan Pak Harto.