Fusilatnews – Ada yang aneh dalam biografi politik Indonesia. Seorang anak presiden, bertahun-tahun disekolahkan ke Singapura dan Australia. Pulang dengan aura global, dengan aksen internasional, dengan foto-foto di depan kampus luar negeri. Tapi ketika ijazahnya diproses di negeri sendiri, hasilnya cuma: Grade 12. Setara SMA.
Di sinilah komedi politik lahir: dari ruang kelas SMA langsung lompat ke ruang rapat kabinet. Dari kertas penyetaraan yang hanya menulis “Grad 12” langsung naik ke podium sebagai calon wakil presiden.
Pertanyaan retoris pun menyeruak: kalau sekolah internasional ujungnya cuma disetarakan SMA, berarti syarat jadi pemimpin nasional cukup ijazah SMA? Kalau begitu, mengapa kita repot kuliah? Mengapa rakyat kecil harus bersusah-payah kuliah S1, S2, bahkan S3 demi sekadar melamar kerja—sementara tiket politik ternyata bisa dipotong jalur keluarga?
Gibran adalah anomali yang nyata. Pendidikan formalnya berhenti di “Grad 12,” tapi karier politiknya menyalip semua doktor politik, ahli hukum tata negara, profesor ekonomi. Inilah politik versi Indonesia: sistem meritokrasi dikalahkan nepotisme, dan pendidikan jadi ornamen belaka.
Lucunya, ketika orang lain menertawakan, sistem malah mengabadikannya. Media menulis: “Gibran, lulusan luar negeri.” Padahal di dokumen resmi: SMA setara. Ironi paling absurd: rakyat dipaksa kagum pada hal yang dalam kenyataannya tidak pernah ada.
Jika politik kita ibarat panggung sandiwara, maka ijazah Grad 12 ini adalah properti paling ganjil: kertas SMA yang bisa membuka pintu istana.
Kafka pun mungkin akan iri. Karena di Indonesia, hanya dengan ijazah setara SMA, seseorang bisa langsung duduk di kursi wapres—selama nama belakangnya adalah Rakabuming.