Kasus korupsi e-KTP yang melibatkan kerugian negara mencapai 2,3 triliun rupiah kembali mencuatkan nama-nama besar, terutama dari PDIP, yang hingga kini tak tersentuh hukum. Salah satu aspek yang menarik perhatian adalah keterlibatan sejumlah pentolan PDIP dalam skandal ini, meski hingga saat ini mereka tidak pernah diperiksa sebagai saksi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Nama-nama seperti Puan Maharani dan Pramono Anung disebutkan oleh terdakwa Setya Novanto dalam kesaksiannya di persidangan sebagai penerima aliran dana korupsi e-KTP, dengan masing-masing mendapatkan 500.000 dolar AS, atau sekitar 7,5 miliar rupiah. Namun, meski pengakuan ini disampaikan di ruang persidangan, keduanya tak pernah diproses hukum atau diperiksa sebagai saksi oleh KPK.
Keterlibatan Puan Maharani dan Pramono Anung dalam kasus e-KTP menggambarkan sebuah paradoks dalam dunia politik Indonesia. Di satu sisi, mereka adalah tokoh-tokoh penting dalam PDIP yang selalu mengklaim dirinya sebagai partai yang bersih dari praktik korupsi. Di sisi lain, meski sudah ada bukti dan pengakuan langsung dari terdakwa utama, keduanya tetap tidak disentuh hukum. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana politikus besar sering kali bisa menghindari jeratan hukum, meskipun masyarakat tidak akan pernah melupakan peran mereka dalam skandal besar ini.
Kesaksian Setya Novanto, yang diungkapkan di hadapan majelis hakim, memberikan gambaran yang jelas tentang keterlibatan para politisi dalam kasus korupsi ini. Menurut Novanto, ada transaksi yang melibatkan dua politisi PDIP yang diduga menerima uang hasil korupsi e-KTP. Pengakuan ini sangat mengguncang, namun fakta bahwa keduanya tidak pernah diperiksa oleh KPK menambah kesan adanya perlindungan terhadap nama-nama besar ini.
https://vt.tiktok.com/ZS6P2KSC6/
Meskipun begitu, publik tidak akan mudah melupakan kasus e-KTP dan peran yang dimainkan oleh para tokoh penting dalam skandal tersebut. Masyarakat Indonesia semakin paham bahwa kekuatan politik dan uang sering kali menjadi pelindung bagi mereka yang berada di puncak kekuasaan, sementara rakyat biasa harus menanggung beban dari kerugian negara yang ditimbulkan. Dalam konteks ini, ketidakjelasan penanganan hukum terhadap Puan Maharani dan Pramono Anung menciptakan persepsi publik bahwa hukum di Indonesia mungkin hanya bisa berpihak pada mereka yang memiliki kekuatan politik.
Kisah e-KTP adalah contoh nyata dari betapa kuatnya pengaruh politik dalam sistem hukum di Indonesia. Kasus ini mengingatkan kita bahwa meski korupsi melibatkan kerugian yang sangat besar bagi negara, tidak semua pihak yang terlibat akan mendapatkan keadilan yang sama. Puan Maharani dan Pramono Anung, yang namanya disebut dalam pengakuan Setya Novanto, tetap bebas dari hukum, sementara Setya Novanto sendiri harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ini menjadi cerminan betapa sulitnya menegakkan keadilan di tanah air, terutama ketika kepentingan politik dan kekuasaan berperan besar dalam proses hukum.
Masyarakat Indonesia tentu berharap agar para pemimpin politik yang terlibat dalam skandal besar seperti e-KTP dapat diberi keadilan yang setimpal. Namun, dengan sistem hukum yang terkesan selektif dan tidak transparan, banyak pihak merasa pesimis bahwa hal itu akan terwujud. Hingga saat ini, borok Mega dan Pramono Anung dalam kasus e-KTP masih menjadi salah satu luka dalam perjalanan reformasi hukum di Indonesia.