Melihat Prabowo di forum internasional, rasanya seperti melempar ikan ke kolam. Byur! Seketika air bergelombang, sisik berkilau, dan ikan itu berenang ke sana kemari dengan riang. Ia hidup kembali, segar, penuh oksigen. Di podium luar negeri, ia bicara lantang, senyum tak pelit, tangan gemulai, bahkan gemoy. Dunia internasional memberi ruang, dan Prabowo tampak seperti pemimpin yang siap menorehkan sejarah.
Namun coba pindahkan pandangan ke dalam negeri. Dalam potret Silferster Matutina—foto resmi kenegaraan—kita justru melihat wajah yang lain. Mata sayu, pipi lunglai, tubuh tampak kelelahan. Seperti ikan yang bukan dilempar ke kolam, melainkan ke darat. Kekurangan oksigen, megap-megap, sekadar bertahan hidup.
Kontras ini tidak sekadar persoalan gaya atau pencahayaan kamera. Ini soal legitimasi. Di luar negeri, Prabowo tampil percaya diri karena ia bicara dengan status resmi: Presiden Republik Indonesia. Jabatan itu memberi panggung, bukan perjuangan politik. Tetapi di dalam negeri, legitimasi itu masih rapuh. Rakyat tahu ia sampai di kursi kekuasaan bukan dengan jalan lurus, melainkan lewat rekayasa hukum, dinasti, dan segala kelicikan politik yang dipaksa tampak sah.
Di panggung internasional, tidak ada yang peduli bagaimana ia sampai ke kursi presiden. Semua hanya melihat bendera, protokol, dan sambutan. Tapi di dalam negeri, setiap potret formal adalah pengingat bahwa kursi yang didudukinya penuh tanda tanya. Kamera Silferster Matutina, dengan dingin dan kaku, justru membekukan wajah yang tidak sepenuhnya bisa menatap balik rakyatnya.
Inilah ironi seorang pemimpin yang tampak segar di luar, tapi layu di dalam. Di luar negeri ia bebas berenang, di dalam negeri ia terkurung di akuarium sempit bernama “politik hasil kompromi.” Airnya keruh, oksigennya minim, dan setiap gerakan dibatasi oleh kaca transparan bernama ketidakpercayaan publik.
Rakyat melihatnya. Potret itu bukan sekadar foto, melainkan refleksi. Bahwa seorang pemimpin bisa saja tampak hidup di mata dunia, tapi mati gaya di hadapan bangsanya sendiri. Dan republik ini tidak butuh ikan hias yang dipamerkan ke luar, tapi ikan tangguh yang bisa membersihkan kolamnya sendiri dari kotoran.
Prabowo boleh saja gemoy di forum internasional. Tetapi di mata rakyat, ia tetaplah ikan besar yang tersedak di akuarium kekuasaan—bernafas dengan tabung oksigen warisan, bukan dengan paru-paru legitimasi.