Fusilatnews – Di era pemerintahan Jokowi, lembaga survei dan pasukan buzzer menjadi dua instrumen utama dalam membangun opini publik. Survei bukan lagi cerminan objektif atas kehendak rakyat, melainkan alat legitimasi kekuasaan yang dikendalikan dari balik layar. Publik digiring untuk percaya pada angka elektabilitas yang dipoles, bukan pada kenyataan di lapangan. Buzzer pun bekerja siang dan malam menenggelamkan kritik dengan narasi semu keberhasilan. Semua itu menjadi penopang atas kepemimpinan yang lemah dalam visi, miskin komunikasi publik, dan lebih sibuk menjaga citra ketimbang membangun substansi.
Namun kini, di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, lanskap komunikasi publik mulai berubah. Publik tidak lagi lapar akan hasil survei atau opini buzzer, karena komunikasi presiden sendiri sudah cukup kuat untuk menjelaskan arah dan kebijakan pemerintahannya. Prabowo tidak berbicara dengan retorika yang kosong; ia berbicara dengan gestur, tindakan, dan konsistensi. Kalimat-kalimatnya lugas, dan bahasa tubuhnya membawa pesan kepemimpinan yang tegas. Dengan gaya yang khas—tegas tapi humanis—ia menjembatani jarak antara istana dan rakyat tanpa perantara lembaga survei yang selama ini mengklaim berbicara atas nama rakyat.
Perubahan besar lainnya datang dari sosok Menteri Keuangan, Purbaya. Di tangan menteri yang lincah ini, komunikasi kebijakan ekonomi menjadi jauh lebih cair, konkret, dan mudah dicerna masyarakat. Ia tidak hanya bicara angka, tapi juga narasi pembangunan yang menyentuh akal dan perasaan publik. Ia menjelaskan program kerja dengan bahasa rakyat, bukan jargon teknokratis. Dari sinilah muncul rasa percaya baru: rakyat mulai memahami arah kebijakan negara tanpa harus menunggu tafsir para analis atau lembaga survei.
Kehadiran Prabowo dan Purbaya juga menggeser pusat gravitasi politik di kabinet. Orang-orang seperti Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) dan menteri-menteri lain yang dulu begitu dominan di era Jokowi kini tampak kehilangan panggung. Mereka bukan lagi poros kekuasaan yang menentukan arah, karena langkah presiden dan menkeu telah mendahului mereka. Otoritas kini kembali ke tangan presiden—tempat yang seharusnya—bukan di tangan lingkaran teknokrat dan oligark yang dulu lebih kuat dari kepala negara sendiri.
Inilah babak baru komunikasi politik Indonesia: dari opini yang direkayasa menuju kepercayaan yang tumbuh secara alami. Di era Jokowi, kekuasaan berdiri di atas persepsi; di era Prabowo, kekuasaan mulai berdiri di atas kejelasan. Survei dan buzzer kehilangan relevansi karena publik kini lebih percaya pada tindakan nyata dan bahasa yang jujur. Dalam konteks ini, matinya lembaga survei bukanlah kehilangan, melainkan pertanda lahirnya kembali politik yang lebih sehat—politik yang berpijak pada kepercayaan, bukan manipulasi.

























