Fusilatnews – Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI) tetap menjadi salah satu bab paling kelam sekaligus penuh perdebatan dalam sejarah Indonesia. Narasi resmi Orde Baru menekankan bahwa PKI adalah dalang tunggal di balik kudeta tersebut. Namun, berbagai penelitian asing memperlihatkan gambaran yang jauh lebih kompleks: pertarungan internal militer, ambisi politik Soeharto, dan intervensi kekuatan asing dalam kerangka Perang Dingin.
Meragukan Dalang Tunggal PKI
Keraguan atas narasi Orde Baru muncul sejak awal. Cornell Paper (1966) karya Benedict Anderson dan Ruth McVey menyimpulkan bahwa G30S lebih menyerupai perebutan kekuasaan di tubuh Angkatan Darat ketimbang konspirasi besar PKI. Mereka menilai kelompok perwira menengah yang memimpin penculikan jenderal justru tidak menunjukkan keterhubungan langsung dengan pimpinan pusat PKI.¹
Soeharto dan Konsolidasi Kekuasaan
Sejarawan asing menyoroti langkah cepat Soeharto dalam mengambil kendali situasi. John Roosa dalam Pretext for Mass Murder (2006) menyebut bahwa Soeharto memanfaatkan kekacauan G30S untuk mengonsolidasikan kekuasaan.² Bagi banyak pengamat, hal ini menunjukkan bahwa Soeharto tidak hanya bereaksi spontan, melainkan sudah menunggu momentum untuk menyingkirkan Sukarno dan PKI.
Perang Dingin dan Intervensi Asing
Dokumen yang kini terbuka memperlihatkan bahwa Amerika Serikat, Inggris, dan Australia punya kepentingan besar di Indonesia. PKI, dengan jutaan anggota, dianggap ancaman besar bagi blok Barat. Robert Cribb menekankan bahwa pembasmian PKI pasca-1965 tidak bisa dilepaskan dari konteks Perang Dingin.³ Bukti menunjukkan keterlibatan intelijen Barat yang memberikan informasi dan dukungan logistik bagi militer Indonesia.
Tragedi Kemanusiaan
Jika Orde Baru menutupi skala kekerasan, sejarawan asing justru menyorotinya sebagai inti tragedi. Amnesty International memperkirakan 500 ribu hingga 1 juta orang terbunuh. John Roosa menyebutnya sebagai “pembunuhan politik terbesar di Asia pasca-Perang Dunia II.”² Robert Cribb menekankan sifatnya sebagai “genosida politik” yang melibatkan negara sekaligus masyarakat sipil.³
Geoffrey Robinson dalam The Killing Season (2018) menambahkan bahwa kekerasan itu bukan spontan atau liar semata, melainkan “direncanakan, diorganisasi, dan dimungkinkan oleh negara.”⁴ Ia juga menyoroti dukungan aktif kekuatan asing, khususnya Amerika Serikat dan Inggris, yang melihat pembantaian massal sebagai cara efektif untuk menghapus PKI dari peta politik Indonesia. Dengan demikian, tragedi 1965–1966 tidak hanya tragedi domestik, tetapi juga bagian dari sejarah global kekerasan politik abad ke-20.
Sukarno yang Terjepit
Dalam narasi asing, Sukarno digambarkan sebagai pemimpin yang terjepit. Ia berusaha menyeimbangkan kekuatan PKI dan militer, sambil menghadapi tekanan internasional. Namun, setelah G30S, posisinya terus melemah. Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) berhasil melucuti kekuasaan Sukarno, hingga akhirnya mengambil alih sepenuhnya.
Kompleksitas Sejarah
Versi asing menyimpulkan bahwa G30S/PKI adalah tragedi multidimensional. Ada peran PKI, ada intrik militer, ada strategi Soeharto, dan ada intervensi asing. Menyebutnya hanya sebagai “kudeta komunis” adalah penyederhanaan yang menutupi dimensi kemanusiaan terbesar: pembunuhan massal ratusan ribu orang yang kini diakui dunia sebagai salah satu tragedi politik paling berdarah di abad ke-20.
Tabel Perbandingan Versi Orde Baru vs Versi Asing
Aspek | Versi Orde Baru | Versi Asing |
---|---|---|
Dalang | PKI dalang tunggal G30S | Konflik internal militer; sebagian peran PKI; rekayasa politik |
Peran Soeharto | Penyelamat bangsa | Memanfaatkan situasi, konsolidasi kekuasaan |
PKI | Organisasi militan siap merebut kekuasaan | Terlibat sebagian, tidak terkoordinasi penuh |
Keterlibatan Asing | Tidak disebut | Dukungan intelijen AS, Inggris, Australia |
Korban | Tidak dijelaskan detail | 500 ribu–1 juta korban; tragedi politik/“genosida” |
Sukarno | Lemah, gagal melindungi negara | Terjepit, dilucuti perlahan oleh Soeharto |
Interpretasi Umum | Kudeta komunis digagalkan militer | Tragedi kompleks: perebutan kekuasaan, intervensi asing, pembantaian massal |
Catatan Kaki
- Benedict R. Anderson & Ruth T. McVey, A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia (Cornell Modern Indonesia Project, 1966).
- John Roosa, Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia (University of Wisconsin Press, 2006).
- Robert Cribb, The Indonesian Killings of 1965–1966: Studies from Java and Bali (Monash University, 1990).
- Geoffrey B. Robinson, The Killing Season: A History of the Indonesian Massacres, 1965–66 (Princeton University Press, 2018).