Fusilatnews – Muktamar X Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang seharusnya menjadi ajang konsolidasi justru berubah menjadi panggung perpecahan. Alih-alih melahirkan satu nakhoda untuk membawa kapal PPP keluar dari badai, forum itu justru menghasilkan dua kapten: Muhammad Mardiono dan Agus Suparmanto. Fenomena ini seakan menegaskan bahwa PPP sedang kehilangan arah dan tidak mampu lagi membedakan kepentingan pribadi dengan kepentingan partai.
Mardiono: Petahana dengan Rekam Jejak Buram
Muhammad Mardiono bukanlah nama baru. Ia sudah lama beredar di lingkaran elite PPP, dan pada 2022 ditunjuk sebagai Plt Ketua Umum menggantikan Suharso Monoarfa. Namun, masa kepemimpinannya tercatat sebagai salah satu periode tergelap partai.
Di bawah Mardiono, PPP gagal menembus ambang batas parlemen pada Pemilu 2024. Perolehan suara hanya 3,87 persen—tidak cukup untuk bertahan di DPR. Kekalahan ini bukan sekadar angka, melainkan alarm keras bahwa PPP kehilangan basis, daya tarik, dan kepercayaan publik. Namun, bukannya mundur dengan elegan, Mardiono justru kembali mengklaim kursi ketua umum melalui aklamasi yang penuh tanda tanya.
Klaim ini memperlihatkan watak khas elite politik Indonesia: kegagalan tidak menjadi alasan untuk berhenti, melainkan justru modal untuk kembali berkuasa.
Agus Suparmanto: Pendatang dengan Modal Politik Tipis
Di sisi lain, muncul Agus Suparmanto, mantan Menteri Perdagangan era Jokowi. Namanya memang pernah melekat di PKB, bukan PPP. Dengan rekam jejak singkat di kabinet dan posisi di dunia olahraga, Agus bukan sosok yang tumbuh bersama PPP. Namun, ia berani menantang arus dan mengklaim terpilih secara aklamasi oleh kubu yang menolak dominasi Mardiono.
Pertanyaan mendasar pun muncul: apakah Agus benar-benar memiliki visi menyelamatkan PPP, atau hanya menambah daftar panjang politisi yang mencari kendaraan politik untuk melanggengkan eksistensi? Klaim aklamasi yang ia terima sama rapuhnya dengan Mardiono—lebih mencerminkan perebutan panggung ketimbang konsensus politik.
PPP dan Politik Dualisme yang Melelahkan
Dualisme kepemimpinan PPP bukan sekadar konflik internal. Ia adalah cermin dari rapuhnya demokrasi internal partai politik di Indonesia. PPP, yang pernah berdiri sebagai simbol aspirasi politik umat Islam, kini justru terjebak dalam pusaran perebutan kursi dan legitimasi semu.
Kehadiran dua ketua umum menunjukkan bahwa PPP tidak belajar dari sejarah. Perpecahan serupa sudah berulang kali terjadi, dan hasilnya selalu sama: energi partai habis untuk konflik internal, sementara rakyat tidak mendapatkan manfaat apa-apa.
Yang lebih menyedihkan, publik semakin kehilangan kepercayaan. PPP yang seharusnya menjadi pilar politik Islam kini tampak seperti rumah besar yang kosong—diisi oleh elite yang sibuk berkelahi, tetapi ditinggalkan oleh umat.
Penutup: PPP di Ujung Jalan?
Pertanyaan “Siapa Ketua Umum PPP?” kini tidak sekadar soal legalitas, melainkan soal eksistensi. Apakah PPP masih relevan di panggung politik nasional, atau hanya akan menjadi catatan kaki dalam sejarah demokrasi Indonesia?
Mardiono dengan kegagalannya, Agus dengan ambisinya—keduanya sama-sama belum menawarkan jawaban nyata atas krisis PPP. Jika partai ini tidak segera menemukan titik temu, maka Muktamar X bisa jadi tercatat sebagai awal dari akhir perjalanan Partai Ka’bah.
PPP bisa bersatu dan bangkit kembali, atau hancur sebagai korban keserakahan elite yang tidak pernah puas dengan kekuasaan.























