OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Sekalipun ada pihak yang ingin menghapus emblim beras sebagai “komoditas politis”, kemudian ingin menggantinya menjadi “komoditas ekonomi”, namun jika kita cermati fakta kehidupan, keinginan tersebut rupanya masih cukup sulit untuk diwujudkan. Beras masih menjadi kebutuhan pangan pokok sebagian besar warga bangsa dan beras pun masih jadi penentu angka inflasi.
Di sisi lain, kita juga menyadari beras merupakan komoditas yang penuh dengan misteri. Suatu saat kita mampu memproklamirkan diri sebagai bangsa yang telah mampu meraih swasembada beras, nanun suatu waktu, kita terpaksa melakukan impor dengan jumlah yang sangat fantastis. Dari sinilah muncul pemikiran, swasembada beras yang dicapai, mestinya swasembada beras berkelanjutan, bukan “on trend”.
Pengalaman tahun 2023/2024 terkait dengan turunnya produksi beras dengan angka cukup signifikan, mengajak kepada kita untuk merenung, apa yang bakal terjadi bila beras dijadikan komoditas ekonomi biasa ? Itu sebabnya, vonis beras sebagai komoditas politis, masih harus disematkan dan jangan coba-coba kita bermain-main dengan beras.
Sebaiknya, kita tetap mengingat pesan Proklamator Bangsa Bung Karno yang menyatakan sekitar 73 tahun lalu, urusan pangan menyangkut mati dan hidupnya suatu bangsa. Sebagai bangsa yang telah terhipnotis oleh beras, maka siapa pun yang diberi mandat oleh rakyat untuk menakhkodai bangsa dan negara, jangan sekalipun tidak serius mengelola beras.
Artinya, seberat apa pun kondisi perekonomian bangsa yang tengah dihadapi, yang namanya ketersediaan beras tetap harus terjaga dan terkendali dengan baik. Beras mesti selalu ada dan tidak boleh kurang dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Selain itu, harga beras di pasar, tetap harus terjangkau okeh sebagian besar masyarakat.
Anjloknya produksi beras, mestinya tidak boleh terjadi sekiranya Pemerintah telah sungguh-sungguh menerapkan pendekatan “deteksi dini” dalam mengantisipasi kemungkinan terburuk dalam dunia perberasan di negeri ini. Sayang, sampai sekarang Pemerintah masih menjebakkan diri pada pendekatan sebagai “pemadam kebakaran”.
Dalam kaitan ini, utamanya menjelang tibanya panen raya padi yang bakal dimulai bulan Pebruari 2025, penting dipertanyakan bagaimana kesiapan Pemerintah untuk menyambutnya ? Pengalaman buruk di masa lalu yakni panen raya di musim hujan, yang membuat petani kesusahan, diharapkan sudah ada jalan keluar terbaiknya.
Pada saat itulah kita memimpikan hadirnya Bulog sebagai lembaga pangan yang akan turun ke sawah untuk membeli gabah dan beras petani dengab harga wajar dan tidak merugikan petani. Bulog sebagai offtaker plat merah, sesuai dengan status barunya selaku lembaga otonom Pemerintah akan “all out” menjalankan kiprahnya selaku pelindung petani.
Dengan berbagai keterbatasan yang ada, terlebih bila panen berlangsung saat musim hujan, kualitas gabah yang dihasilkan petani kemudian dibeli oleh Bulog, pasti berasnya tidak akan sebagus penampakan beras impor. Kalau beras impor broken nya rata-rata 5 %, boleh jadi beras dalam negeri akan lebih dari 5 %. Namun begitu, beras dalam negeri tetap lebih pulen dan maknyus ketimbang beras impor.
Disodorkan pada kondisi demikian, ke depan perlu ada gerakan perbaikan kualitas beras produksi dalam negeri, khususnya dalam soal penampakan. Disinilah dibutuhkan adanya sinergitas dan kolaborasi antara Kementerian Pertanian dan Bulog, untuk sama-sama melakukan pembinaan terhadap petani. Selain itu pelibatan organisasi petani sekelas HKTI dan KTNA mutlak untuk dilibatkan.
Penerapannya di lapangan, upaya perbaikan kualitas beras dalam negeri, sebaiknya dikemas dalam bentuk gerakan dengan melepaskan diri dari pendekatan keproyekan. Pemerintah jangan lagi beranggapan proyek adalah segala-galanya, sehingga setiap program dan kegiatan harus digarap dalam bentuk proyek. Padahal, dibalik itu, sering terjadi perkeliruan.
Hanya patut dicatat, sekalipun sudah dapat diprediksi kualitas beras yang diproduksi petani dalam negeri, tidak akan lebih baik dibandingkan penampakan beras impor, namun dari sisi rasa dan kandungan gizi, beras dalam negeri jauh lebih unggul. Rasanya pulen dan bergizi. Itu sebabnya, menjadi sangat masuk akal bila kita memberi apresiasi terhadap petani dalam negeri yang telah berjuang keras menggenjot produksi setinggi-tingginya.
Penghormatan ini layak disampaikan, mengingat para petani padilah yang telah bekerja keras selama kurang lebih 100 hari berkubang lumpur turun ke sawah. Bayangkan, jika tidak ada mereka. Siapa yang akan memberi makan orang kota ? Lalu, dari mana lagi kita akan memperoleh beras untuk konsumsi dan menyambung nyawa kehidupan ?
Bagi petani, panen raya merupakan peluang untuk dapat berubah nasib dan kehidupan. Petani optimis, jika produksi meningkat cukup signifikan, maka penghasilannya akan meningkat, sehingga kesejahteraan hidupnya semakin membaik. Sayang, harapan ini sulit terwujud, mengingat setiap panen raya, harga gabah di petani selalu anjlok. Akibatnya, nasib petani susah untuk berubah.
Akan tetapi, dengan adanya jaminan Pemerintah yang akan menugaskan Bulog untuk menyerap dan membeli gabah/beras petani sebanyak-banyaknya dengan harga wajar dan tidak merugikan petani, maka harapan tersebut mulai mendekati kenyataan. Bulog dituntut untuk fapat mewujudkannya, sekalipun bukan hal mudah untuk diraih. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).

























