Pernyataan Jokowi bahwa Gibran Rakabuming Raka tidak ikut campur dalam urusan reshuffle kabinet sekilas terdengar sederhana. Namun bila ditelaah, ucapan itu memperlihatkan betapa posisi wakil presiden sering dipahami keliru: dianggap bisa ikut mengatur, seolah-olah sejajar dalam fungsi harian. Padahal, konstitusi telah menetapkan dengan jelas: hakikat wakil presiden tak ubahnya ban serep.
Ban serep tidak dipakai selama ban utama masih kuat. Ia diam di bagasi, tetapi perannya vital: ketika ban utama pecah atau kempes, ban serep dipasang untuk memastikan kendaraan tetap berjalan. Begitu pula wakil presiden: fungsinya bukan untuk ikut serta dalam urusan harian seperti reshuffle, melainkan menggantikan ketika yang utama tidak bisa lagi bekerja. Itu pun bukan dengan arah baru, melainkan murni melanjutkan janji politik dan tugas yang sudah diikat sebagai kontrak sosial dengan rakyat.
Karena itu, wapres tidak boleh mengambil inisiatif sendiri, tidak boleh mencampuri kebijakan yang masih dalam kendali yang utama, apalagi menambah atau mengurangi arah pemerintahan. Selama yang utama masih ada, wapres hanyalah cadangan. Diam, menunggu, dan baru bergerak bila keadaan darurat menuntutnya.
Bandingkan dengan Amerika Serikat. Wakil presiden di sana tidak punya kewenangan menentukan kabinet, tetapi posisinya tetap dijaga serius sebagai the second in command. Begitu yang utama berhalangan, wapres otomatis naik tanpa tawar-menawar. Gerald Ford menjadi presiden setelah Nixon jatuh karena skandal Watergate, dan Lyndon B. Johnson langsung disumpah beberapa jam setelah John F. Kennedy terbunuh. Mekanisme ini berjalan mulus karena fungsi wapres diposisikan secara konsisten: ban serep yang siap dipakai kapan pun keadaan darurat.
Di Filipina pun konstitusi menempatkan wakil presiden sebagai pengganti sah bila yang utama tidak bisa melanjutkan tugas. Semua ini menegaskan hal yang sama: wapres adalah cadangan konstitusional, bukan co-pilot yang ikut memegang kemudi.
Lalu bagaimana dengan Indonesia hari ini? Di sinilah letak keprihatinan saya sebagai penulis. Jabatan wapres di negeri ini memang sudah seharusnya diposisikan sebagai ban serep: bukan pemain utama, bukan pengambil kebijakan harian, melainkan cadangan yang hanya bekerja ketika keadaan darurat menuntutnya. Wapres adalah jabatan yang tampak indah di atas kertas, tapi hakikatnya sederhana—hanya pelanjut, bukan pembuat arah baru.
Dan dalam kasus Gibran, ban serep itu bahkan lebih ironis lagi. Ia bukan sekadar disimpan, melainkan sengaja dipoles kinclong agar tampak mewah di bagasi, difoto-foto, dipamerkan, tetapi tetap dijauhkan dari aspal jalanan. Sebuah ban serep istimewa: berharga secara politik, tetapi hampa dari fungsi sejatinya.