Dalam khazanah pepatah Arab, ada ungkapan yang terdengar keras namun menyimpan kebijaksanaan mendalam: “Jadikan anjingmu lapar, supaya ia terus mengikutimu.” Sekilas, pepatah ini bisa disalahpahami sebagai ajaran untuk menindas, menahan, atau memperbudak. Namun bila direnungkan dalam cahaya spiritual, pepatah ini bukanlah tentang menindas, melainkan tentang menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan ketergantungan, antara pemberian dan pengendalian.
Dalam pandangan sufistik, “anjing” sering kali menjadi simbol bagi nafsu — sisi hewani manusia yang selalu lapar, selalu ingin lebih, selalu mengejar kepuasan sesaat. Jika nafsu diberi makan terus, ia akan menjadi liar dan menguasai jiwa. Namun jika ia “dilaparkan”, dikendalikan, dan diarahkan, maka ia akan tunduk dan menjadi pelayan yang setia bagi ruh yang suci. Maka, pepatah ini bisa dibaca sebagai nasihat spiritual: laparkanlah nafsumu agar ia tidak memimpinmu, tetapi mengikuti dan melayanimu.
Dalam konteks kekuasaan, pepatah ini juga sering digunakan untuk menggambarkan strategi kepemimpinan. Seorang pemimpin yang cerdas tahu bahwa ketika bawahannya selalu kenyang — dalam arti puas, aman, dan tanpa tantangan — maka semangat kerja dan loyalitasnya bisa pudar. Namun bila ia dibiarkan sedikit “lapar”, masih ada ruang untuk berjuang, berharap, dan bergerak. Pepatah ini bukan untuk melegitimasi eksploitasi, melainkan mengingatkan bahwa rasa lapar — baik secara fisik maupun spiritual — adalah energi yang menggerakkan manusia untuk tumbuh dan berusaha.
Namun di sisi lain, pepatah ini juga bisa menjadi cermin kezaliman, jika diterapkan tanpa rahman~rahim. Banyak penguasa yang menjadikan rakyatnya “lapar” bukan demi membangkitkan semangat, melainkan agar mereka tunduk dan bergantung. Mereka menggunakan kelaparan sebagai alat kontrol, bukan sebagai jalan pembinaan. Di sinilah batas antara hikmah dan kejahatan menjadi tipis: apakah “melaparkan” itu demi kebaikan, atau demi mempertahankan kekuasaan?
Dalam kehidupan sehari-hari, pepatah ini juga menyapa setiap jiwa yang sedang berjuang. Allah kerap “melaparkan” kita dari dunia — menahan rezeki, menunda doa, memberi ujian — bukan karena Ia kejam, melainkan agar kita terus “mengikuti-Nya”. Agar kita tidak berhenti mencari, tidak berhenti berdoa, tidak berhenti berharap. Sebab jika manusia terlalu kenyang dengan dunia, ia akan lupa pada sumbernya.
Maka, makna terdalam dari pepatah Arab ini adalah pengendalian diri dan kesetiaan kepada yang lebih tinggi. Nafsu harus lapar agar hati tetap hidup. Rakyat perlu diberi ruang perjuangan agar bangsa tetap kuat. Dan manusia perlu dibiarkan merindu agar cintanya kepada Tuhan tidak padam.
Sebab, dalam kelaparan yang terjaga, tersimpan energi untuk tetap berjalan — dan dalam ketidaklengkapan, ada dorongan untuk terus mencari kesempurnaan.

























