Oleh: Ali Syarief
Juwita (23), jurnalis muda asal Banjarbaru, Kalimantan Selatan, ditemukan tewas di tangan seorang oknum TNI AL berinisial J. Tragedi ini tak hanya mencabik-cabik nurani, tetapi juga menyisakan luka dalam bagi dua pilar fundamental negara demokrasi: kebebasan pers dan perlindungan terhadap hak perempuan.
Kematian Juwita adalah potret buram dari situasi ganda yang mengancam negeri ini — di satu sisi, kekerasan terhadap jurnalis yang kian meningkat, dan di sisi lain, praktik femisida yang makin tak terbendung. Kombinasi ini menempatkan profesi kewartawanan, khususnya perempuan jurnalis, dalam situasi yang lebih rentan dan mengerikan.
Kekerasan terhadap Jurnalis: Membungkam Suara, Membunuh Demokrasi
Profesi jurnalis adalah ujung tombak demokrasi. Mereka adalah penjaga nurani publik, pengurai fakta, dan pemantik diskusi kritis. Namun, alih-alih dilindungi, jurnalis di Indonesia justru kerap menjadi sasaran kekerasan, intimidasi, bahkan pembunuhan.
Dalam kasus Juwita, ancamannya menjadi berlipat: ia bukan hanya dibunuh sebagai perempuan dalam konteks relasi personal (femisida intim), tetapi juga sebagai jurnalis — profesi yang mengharuskannya dekat dengan informasi, kebenaran, dan kekuasaan. Jika negara membiarkan kasus ini berjalan tanpa transparansi dan keadilan, maka yang kita lihat bukan hanya satu nyawa yang hilang, tetapi pula sinyal runtuhnya perlindungan terhadap kebebasan pers.
Femisida: Kekerasan Struktural terhadap Perempuan
Komnas Perempuan dan berbagai organisasi advokasi hak perempuan menyebut kasus Juwita sebagai bagian dari intimate femicide — pembunuhan perempuan oleh pasangan atau orang dekat, akibat eskalasi kekerasan berbasis gender sebelumnya. Seperti dijelaskan oleh Direktur Rifka Annisa WCC, Indiah Wahyu Andari, femisida bukan sekadar pembunuhan. Ia adalah puncak gunung es dari sistem patriarki, superioritas maskulin, dan budaya kekerasan yang terlembagakan.
Fakta bahwa pelaku adalah anggota militer, institusi yang kerap diasosiasikan dengan kekuasaan dan dominasi, menambah lapisan kekuasaan pada kekerasan yang terjadi. Di balik kasus ini tersembunyi relasi kuasa yang timpang — bukan hanya antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga antara aparat bersenjata dan warga sipil, antara kekuasaan dan kebenaran.
Ketika Jurnalis Perempuan Menjadi Target
Juwita adalah simbol dari kerentanan berlapis yang dihadapi perempuan jurnalis: diskriminasi gender di tempat kerja, pelecehan saat liputan, hingga kekerasan fisik bahkan pembunuhan. Dalam ruang redaksi dan di lapangan, jurnalis perempuan kerap harus bekerja dua kali lebih keras untuk mendapat pengakuan, sambil menghindari jebakan seksisme dan intimidasi.
Kasus Juwita seharusnya menjadi titik balik: bahwa negara tidak boleh abai terhadap kekerasan berbasis gender, terutama jika menimpa mereka yang menjalankan tugas publik demi kepentingan masyarakat luas.
Demokrasi Tak Akan Hidup Tanpa Kebebasan Pers
Ketika seorang jurnalis dibunuh, itu bukan hanya serangan terhadap individu, melainkan terhadap hak publik untuk tahu. Demokrasi kehilangan pondasinya saat suara kritis dibungkam dengan kekerasan. Dan saat yang menjadi korban adalah perempuan, maka kita sedang menyaksikan bagaimana gender dan profesi bertemu dalam satu titik rawan: kekuasaan yang tak tersentuh hukum.
Kita membutuhkan penyelidikan yang jujur dan terbuka. Proses hukum yang transparan. Dukungan dari komunitas jurnalis dan masyarakat sipil. Karena jika tidak, pembiaran atas kasus Juwita hanya akan membuka jalan bagi kekerasan serupa terjadi kembali — pada jurnalis lain, pada perempuan lain.
Penutup: Juwita Adalah Kita
Kematian Juwita bukan akhir, tapi peringatan. Ia adalah cermin yang menampakkan kepada kita semua bahwa negeri ini belum aman bagi perempuan, apalagi perempuan yang memilih jalan sunyi bernama jurnalisme. Jika negara tak bersikap tegas dalam melindungi mereka, maka kita sedang melangkah mundur ke zaman di mana kebenaran tak lagi punya suara, dan perempuan tetap menjadi korban sistem yang tak berubah.
Juwita adalah kita. Jika kita diam, mungkin suatu hari giliran kita yang dibungkam.
























