Fusilatnews – Satu tahun pemerintahan Prabowo ternyata sudah cukup untuk memperlihatkan sisi gelap dari eksperimen politik yang dilakukannya. Hasil survei Celios mengenai Kinerja Menteri Terburuk dalam Setahun Pemerintahan Prabowo memberi gambaran yang mencemaskan: Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, menduduki posisi teratas dengan skor -151 poin. Di bawahnya berderet nama-nama lain seperti Dadan Hindayana, Natalius Pigai, Raja Juli Antoni, hingga Fadli Zon—nama-nama yang, ironisnya, berasal dari berbagai latar belakang ideologi dan partai, tetapi kini disatukan oleh satu hal: buruknya kinerja.
Daftar ini bukan sekadar catatan statistik, melainkan cermin dari dua masalah fundamental yang menghantui kabinet Prabowo. Pertama, absennya kompetensi teknokratis dalam banyak posisi strategis. Misalnya, Bahlil Lahadalia, yang sebelumnya dikenal sebagai pebisnis dan politikus, kini menghadapi tantangan besar di sektor energi yang sangat kompleks dan penuh tekanan geopolitik. Hasilnya, publik menilai kinerjanya gagal total. Energi yang mestinya menjadi tulang punggung ketahanan nasional justru dipersepsikan dikelola tanpa arah yang jelas.
Kedua, munculnya fenomena political placement—penunjukan berdasarkan loyalitas, bukan kapasitas. Beberapa nama dalam daftar tersebut tampak lebih merupakan hasil kompromi politik ketimbang pilihan berbasis profesionalisme. Natalius Pigai misalnya, yang dikenal sebagai aktivis HAM, kini menjabat sebagai Menteri HAM, tetapi kinerjanya tidak terlihat signifikan dalam memperjuangkan hak-hak rakyat kecil. Begitu pula dengan Raja Juli Antoni di pos Menteri Kehutanan yang justru sering menuai kritik akibat lemahnya kebijakan lingkungan dan deforestasi yang tak terkendali.
Dalam konteks ini, survei Celios bisa dibaca sebagai peringatan dini terhadap bahaya kabinet yang terlalu eksperimental—campuran antara loyalis politik, eks aktivis, dan figur populis yang tidak semuanya memiliki kapasitas manajerial memadai. Ketika setiap jabatan lebih diperlakukan sebagai alat politik ketimbang amanah publik, yang lahir bukanlah pemerintahan yang efektif, melainkan laboratorium kegagalan.
Kehadiran nama-nama seperti Fadli Zon dan Zulkifli Hasan dalam daftar tersebut juga mempertegas paradoks antara retorika dan realitas. Mereka berdua dikenal vokal di panggung politik, tetapi justru kehilangan daya ketika harus berhadapan dengan realitas birokrasi dan kebijakan publik. Fadli Zon, yang kini memimpin sektor kebudayaan, tampak kesulitan menampilkan arah kebijakan yang inspiratif; sementara Zulkifli Hasan, di bidang pangan, tidak menunjukkan inovasi berarti dalam menghadapi fluktuasi harga dan ketahanan pangan nasional.
Satu tahun pemerintahan seharusnya menjadi momentum pembuktian. Namun, survei Celios menunjukkan bahwa kabinet Prabowo justru tersandera oleh figur-figur yang belum mampu menerjemahkan visi politik menjadi kinerja nyata. Bila tren ini berlanjut, publik tidak hanya akan kehilangan kepercayaan, tetapi juga menghadapi risiko stagnasi kebijakan di berbagai sektor strategis.
Celios mungkin hanya memberi angka, tetapi angka-angka itu berbicara banyak: bahwa pemerintahan yang dibangun atas dasar kompromi politik lebih rentan terhadap krisis kepercayaan publik. Jika Prabowo tidak segera melakukan koreksi dan menempatkan profesionalisme di atas loyalitas, maka daftar menteri terburuk ini bisa menjadi simbol kegagalan awal dari sebuah pemerintahan yang sejatinya diharapkan membawa perubahan.

























