Sudah terbukti, partai yang merapat ke Jokowi ujung-ujungnya ricuh. Golkar, PDIP, PAN—semuanya kena getah. Golkar terus ribut soal kursi ketua umum, PDIP pecah di dalam rumahnya sendiri, PAN bahkan rela menabrak AD/ART hanya demi mengukuhkan Zulkifli Hasan. Semua demi satu hal: kedekatan dengan Jokowi.
Kedekatan ini ternyata bukan bonus, melainkan kutukan.
PPP: Partai Hijau Semangka
PPP, yang mestinya tegak dengan identitas Islam, malah jadi partai hijau semangka. Kulitnya hijau, tapi isinya entah kuning entah merah—tergantung arah angin politik. Tragisnya, suara PPP anjlok di 2024 justru karena mereka terus mendekat ke Jokowi. Kini Jokowi sudah nyaris “tinggal nama,” PPP masih saja menempel. Seperti orang yang kebelet ikut pesta padahal pestanya sudah bubar.
Lebih menyedihkan lagi, mereka masih menjual simbol rumah suci umat Islam, tapi kiblat politiknya diarahkan ke figur manusia. Bukankah ini ironis? Partai agama yang kehilangan arah, menjadikan manusia sebagai “Ka’bah politik” mereka.
PSI: Partai Warung Kopi
Kalau PPP semangka, PSI pantas disebut partai warung kopi. Bayangkan, baru dua hari pegang KTA, seseorang bisa langsung diangkat ketua umum, dan itu pun diumumkan di kedai kopi. Seolah-olah partai politik hanya mainan tongkrongan.
Katanya partai modern, katanya kaderisasi, katanya meritokrasi. Nyatanya, PSI lebih mirip proyek keluarga yang disponsori Jokowi. Partai ini lebih sibuk cari restu penguasa ketimbang membangun basis. Kalau begini, jelas PSI tak lebih dari papan reklame politik, bukan organisasi serius.
Gerindra: Bayang-Bayang Dinasti
Gerindra, partai besar yang dulu digadang-gadang jadi oposisi kuat, kini malah terjebak dalam bayang-bayang dinasti. Menggandeng Gibran sebagai cawapres adalah bukti nyata, dan kini kabarnya mereka bahkan didikte untuk terus bersama Gibran dua periode.
Prabowo, yang dulu dikenal keras kepala, kini terlihat pasrah. Seakan-akan perjuangan panjangnya berakhir dengan status “pengawal dinasti Jokowi.” Bukan hanya rakyat yang kecewa, konon Prabowo sendiri pun menyesali langkah ini. Gerindra yang dulu vokal menolak politik keluarga, kini justru menjadi pengawal utama trah Jokowi. Ironi yang sempurna.
Kesimpulan: Kutukan Jokowi
PPP jadi semangka, PSI jadi warung kopi, Gerindra jadi bayang-bayang dinasti. Semua partai yang terlalu dekat dengan Jokowi pada akhirnya kehilangan jati diri, dicemooh publik, dan dipaksa menanggung beban politik yang bukan miliknya.
Sejarah sudah mengingatkan: merapat ke Jokowi bukan tiket menuju kemenangan, melainkan jalan tol menuju kericuhan dan kehancuran. Kalau PPP, PSI, dan Gerindra masih tak mau belajar, maka tamatlah riwayat mereka. Mereka akan tercatat hanya sebagai partai-partai yang tenggelam bersama pamor Jokowi yang kian redup.