Dalam mitologi Yunani, Kasandra dikutuk untuk selalu berkata benar tetapi tak pernah dipercaya. Paradoks ini berulang dalam sejarah politik, ketika peringatan dini tentang bahaya masa depan diabaikan demi kenyamanan sesaat. Indonesia, dengan segala dinamika politiknya, mungkin sedang berada di pusaran paradoks semacam itu.
Kebangkitan Gibran Rakabuming Raka ke kursi wakil presiden sudah menunjukkan bagaimana politik dinasti menabrak sekat-sekat etika dan akal sehat demokrasi. Banyak pengamat, aktivis, hingga akademisi telah memperingatkan bahwa fenomena ini berpotensi merusak fondasi republik: mempersempit kompetisi politik, melanggengkan oligarki, dan membenamkan meritokrasi. Namun, sebagaimana Kasandra di Troya, suara-suara peringatan itu dianggap bising, tidak relevan, bahkan ditertawakan.
Asumsi paling ekstrem adalah ketika Gibran pada akhirnya benar-benar naik menjadi presiden. Skenario ini bukan hal mustahil. Dengan jalur kekuasaan yang sudah dipersiapkan, sistem politik yang terkunci dalam kepentingan koalisi pragmatis, dan kecenderungan rakyat yang lebih mudah terpukau pencitraan ketimbang rekam jejak, jalan menuju kursi RI-1 terbuka lebar.
Di sinilah paradoks Kasandra menemukan ruang aktualisasinya. Sejak awal, sudah banyak yang memperingatkan: jika Gibran melanjutkan tradisi politik Jokowi, maka nepotisme akan semakin menggurita, institusi negara akan semakin lemah di hadapan kepentingan keluarga dan kelompok tertentu, dan demokrasi akan semakin kehilangan roh substantifnya. Namun, suara-suara itu sering dianggap sekadar opini pesimis, tidak membumi, atau bahkan “iri pada kesuksesan keluarga Jokowi.”
Padahal, risiko yang paling nyata adalah kemandegan kepemimpinan nasional. Indonesia sedang menghadapi tantangan besar: krisis iklim, disrupsi teknologi, ketimpangan ekonomi, utang luar negeri yang membengkak, serta rapuhnya kedaulatan pangan dan energi. Menyerahkan arah bangsa pada figur yang naik lebih karena darah ketimbang karya, lebih karena koneksi ketimbang kapasitas, ibarat menyerahkan kapal besar di tengah badai kepada nakhoda yang baru belajar memegang kemudi.
Sejarah telah memperlihatkan bagaimana peringatan-peringatan yang diabaikan menuntun bangsa pada jurang: krisis moneter 1997, tsunami politik Orde Baru, hingga kerusakan lingkungan akibat eksploitasi tanpa kendali. Semua itu pernah diprediksi, namun sering tak digubris. Kini, ketika jalan dinasti kian mulus, apakah bangsa ini sekali lagi akan menertawakan Kasandra yang bersuara?
Paradoks Kasandra bukanlah kutukan mitologi semata, melainkan cermin dari ketidakmampuan manusia untuk mendengar kebenaran yang tak nyaman. Jika Gibran benar-benar menjadi presiden dan memperpanjang pola kepemimpinan yang lebih mengutamakan dinasti ketimbang bangsa, maka sejarah akan menulis bahwa rakyat Indonesia pernah diperingatkan—tetapi memilih untuk tidak percaya.