Oleh: Optic Macca
Dalam negara hukum, keadilan tidak lahir dari teks undang-undang semata. Ia tumbuh dari perilaku hukum—law behavior—yang menuntut integritas, transparansi, dan partisipasi warga negara dalam setiap denyut penyelenggaraan negara. Di sinilah peran serta masyarakat menemukan urgensinya, bukan sebagai slogan partisipatif yang indah di atas kertas, melainkan sebagai kekuatan moral dan sosial yang menekan sistem agar tetap berada di jalur konstitusi.
Kebutuhan untuk memperkuat sektor penegakan hukum dan ekonomi kini terasa mendesak. Di berbagai kelompok masyarakat, termasuk ruang-ruang diskusi seperti WAG (WhatsApp Group), muncul figur-figur potensial—orang-orang yang benar-benar memahami esensi keadilan dan tanggung jawab publik. Dari ruang kecil inilah harapan muncul: ada yang layak mengisi posisi strategis di lembaga hukum seperti KPK, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Konstitusi, serta satu-dua posisi kunci di sektor ekonomi. Mereka adalah sosok-sosok yang diharapkan bukan sekadar profesional, melainkan juga aktivis sejati—berani berkata benar, teguh terhadap komitmen penegakan hukum, dan bekerja demi bangsa, bukan demi kelompok atau kepentingan pribadi.
Dalam konteks inilah, keterbukaan informasi publik menjadi senjata rakyat. Melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008, masyarakat memiliki hak untuk tahu, bertanya, dan menuntut transparansi. Keterbukaan bukan sekadar wacana administratif; ia adalah jantung dari pemerintahan yang baik (good governance). Dengan menggandeng pers dan jaringan organisasi sipil, keterbukaan bisa dipaksa berjalan. Ketika temuan pelanggaran hukum diabaikan oleh institusi sendiri—entah KPK, MK, Kejaksaan, atau bahkan Polri—maka aksi-aksi sosial, demonstrasi, dan tekanan publik menjadi bentuk nyata dari check and balance.
Prinsipnya jelas: peran serta masyarakat bukan monopoli warga sipil. UUD 1945 menjamin kesetaraan seluruh warga negara di hadapan hukum—termasuk ASN, TNI, dan Polri. Pasal 108 dan Pasal 1 angka 24 KUHAP menegaskan ruang partisipasi publik dalam proses hukum, sedangkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN menggariskan asas good government sebagai keharusan moral dan hukum. Ketika transparansi ditegakkan, maka lembaga hukum akan bertransformasi. Polisi yang ideal tak perlu menunggu lama untuk menangkap tersangka; jaksa yang jujur segera menuntut dengan berkas lengkap; dan hakim yang adil tak akan gentar menghadapi tekanan politik.
Namun, jika institusi kembali diisi oleh figur-figur oportunis, maka negeri ini akan kembali terjebak dalam lingkaran kekuasaan yang melahirkan diktator muda—pemimpin tanpa kedalaman, yang lahir dari proses inkonstitusional dan mewarisi kecenderungan otoritarianisme. Bayangan itu nyata ketika kursi kekuasaan diisi bukan karena kapasitas, melainkan karena garis darah dan kedekatan politik. Itulah yang dikhawatirkan jika Gibran, yang berangkat dari legitimasi cacat hukum, terus dibiarkan menapaki jenjang kekuasaan tanpa koreksi publik.
Oleh karena itu, diperlukan suara-suara pembisik yang jernih—mereka yang mampu menyampaikan nasihat objektif dan tulus kepada Presiden Prabowo agar tetap berada di jalur konstitusi. Negara ini membutuhkan pemimpin yang mendengar, bukan yang menunduk pada ambisi pribadi atau tekanan dinasti. Amanah Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara harus dijalankan secara murni dan konsekuen, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Hukum tidak boleh tunduk pada kekuasaan, apalagi pada kepentingan politik keluarga. Jika prinsip keterbukaan dan peran serta masyarakat dijalankan dengan sungguh-sungguh, maka bangsa ini akan melahirkan bukan sekadar pejabat, tetapi negarawan—orang-orang yang berani bersikap radikal dalam berpikir, namun bijak dalam bertindak; yang memperjuangkan amandemen konstitusi bukan demi kekuasaan, tetapi demi keadilan yang sesungguhnya.
Salam, Optic Macca.
























