Fusilatnews – Pernyataan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam Apel Kasatwil 2025 di Cikeas pada Senin, 24 November 2025, sekilas terdengar seperti angin segar. Ia menegaskan bahwa Polri akan melakukan perubahan mendasar dalam penanganan aksi unjuk rasa: dari “menjaga” menjadi melayani warga yang mengekspresikan pendapat. Sebuah frasa yang, dalam konteks normal, patut disambut dengan optimisme.
Namun, pertanyaan yang bergema lebih keras dari tepuk tangan para pejabat adalah: mengapa baru sekarang?
Janji Humanisme Setelah Luka Menganga
Sigit menyebut Polri tengah menggeser doktrin pengamanan. Polri, katanya, akan lebih adaptif, lebih dialogis, lebih memfasilitasi. Bahkan contoh-contoh teknis dilontarkan: menjembatani demonstran dengan pejabat pemerintah, melakukan komunikasi sebelum aksi, hingga menghadirkan kepolisian Hong Kong untuk mempelajari model pengamanan yang lebih “humanis”.
Semua terdengar amat modern. Tapi sejarah tidak bisa dibungkam dengan jargon.
Di ingatan publik, daftar luka masih panjang. Pengunjuk rasa yang tewas, mahasiswa yang dipukul, jurnalis yang diseret, aktivis yang hilang arah usai intimidasi, hingga penyiksaan dan kriminalisasi yang kerap berlindung di balik istilah “ketertiban umum”. Banyak keluarga yang belum mendapatkan keadilan; banyak kasus yang tetap menggantung.
Karena itu, ketika Polri tiba-tiba berbicara tentang pelayanan, publik bertanya-tanya:
apakah ini refleksi tulus atau sekadar rebranding politik?
Ketika Dialog Tak Pernah Menjadi Opsi
“Dialog efektif,” kata Kapolri, menjadi kunci pendekatan baru. Tapi publik tahu, selama bertahun-tahun, dialog justru menjadi barang paling mewah dalam setiap aksi unjuk rasa. Yang cepat hadir bukan ruang komunikasi, melainkan barikade kawat berduri, gas air mata, dan pentungan.
Pertanyaan yang lebih getir muncul:
di mana dialog saat mahasiswa meminta dibukanya akses informasi terkait UU kontroversial?
di mana dialog saat buruh menolak perampasan haknya?
di mana dialog saat warga desa mempertahankan tanah dari penggusuran?
Konsep baru ini baru bergema setelah terlalu banyak orang menjadi korban. Setelah banyak teriakan yang tak terdengar. Setelah institusi Polri bertahun-tahun dipertanyakan independensi dan keberpihakannya.
Belajar dari Hong Kong atau Justru Menyerap Rasa Takutnya?
Polri menghadirkan pembicara dari Kepolisian Hong Kong. Di atas kertas, maksudnya baik: mencari model pengamanan massa yang lebih manusiawi. Namun, publik tentu ingat bahwa Kepolisian Hong Kong juga pernah dikecam keras oleh komunitas internasional karena kekerasan berlebihan dalam merespons demonstrasi prodemokrasi.
Maka wajar bila sebagian publik merasa heran:
yang ingin ditiru Hong Kong-nya yang mana? Humanismenya atau taktik represi yang menyamar sebagai keamanan?
Reformasi Tak Bisa Hanya Dimulai dari Pidato
Perubahan paradigma yang diumumkan Kapolri memang patut diapresiasi. Setiap pembenahan adalah kabar baik. Tetapi reformasi bukanlah seremonial, bukan pula sekadar paket kata-kata yang dirangkai di podium.
Reformasi kepolisian harus dimulai dari:
penindakan tegas atas aparat yang melakukan kekerasan,
evaluasi menyeluruh atas SOP pengamanan aksi,
perlindungan jurnalis dan pemantau HAM,
transparansi penanganan kasus pelanggaran,
keberanian memutus hubungan aparat dengan kepentingan politik kekuasaan.
Tanpa itu, perubahan doktrin hanya menjadi kemasan baru dari produk lama. Sebuah transformasi kosmetik yang akan luntur pada demonstrasi besar berikutnya.
Akhirnya, Publik Berhak Bertanya
Ketika Kapolri menegaskan bahwa prioritas Polri adalah mencegah korban jiwa dan melindungi masyarakat umum, publik tentu berharap itu bukan sekadar janji yang lahir karena tekanan politik atau kebutuhan citra.
Karena rasa sakit akibat gas air mata tidak hilang dengan pidato.
Karena memar di tubuh mahasiswa tidak lenyap oleh seminar.
Karena pelanggaran HAM tidak sembuh hanya dengan kata “melayani”.
Pertanyaan itu tetap menggantung, sederhana tetapi menampar:
Mengapa baru sadar sekarang—setelah begitu banyak korban, setelah begitu panjang daftar pelanggaran, setelah publik nyaris kehilangan harapan?
Dan selama pertanyaan ini belum dijawab dengan tindakan nyata, perubahan apa pun hanya akan terasa sebagai upaya menutup retakan besar dengan plester kecil.

























