Fusilatnews – Di awal karier politiknya, Joko Widodo tampil sederhana. Kemeja putih yang tergulung di lengan, bahasa tubuh yang ringan, serta retorika “kerja, kerja, kerja” menjadikannya simbol harapan bagi rakyat yang lelah oleh elitisme politik lama. Tapi di balik semua itu, ada yang retak sejak mula—retakan yang kini menjelma jurang.
Menurut kelompok Roy Suro Cs, ijazah yang digunakan Jokowi untuk mencalonkan diri sebagai Wali Kota Solo, Gubernur Jakarta, hingga Presiden, diduga 99,9 persen palsu. Tuduhan itu memang belum diputuskan di pengadilan, tapi desas-desus tersebut terus menghantui legitimasi kekuasaannya. Jika benar, maka seluruh perjalanan politik itu berdiri di atas kebohongan administratif—dan moral—yang sistemik.
“Mens rea-nya sudah ketahuan sejak awal,” ujar seorang aktivis hukum di Jakarta. “Kebohongan kecil itu membesar jadi sistem.”
Dan sistem itu kini meluas, menjangkiti hukum, birokrasi, hingga moral publik. Hukum menjadi alat pelindung kekuasaan, bukan lagi penjaga keadilan. Banyak kasus besar menguap di udara, sementara kritik dibungkam lewat pasal-pasal karet. Indonesia menjadi laboratorium ketimpangan, tempat hukum dibengkokkan dengan presisi politik.
Korupsi, yang dulu dijanjikan akan diberantas sampai ke akar, kini justru tumbuh subur. Laporan demi laporan menunjukkan peningkatan kasus, namun nyaris tak ada yang menyentuh lingkar inti kekuasaan. KPK, yang dahulu perkasa, kini seperti macan ompong. “Kita menyaksikan degradasi moral negara yang dilembagakan,” kata seorang mantan penyidik lembaga antirasuah itu getir.
Dan nepotisme? Ia kini tak lagi disembunyikan. Gibran Rakabuming menjabat sebagai Wakil Presiden. Bobby Nasution sudah resmi menjadi Gubernur Sumatera Utara. Kaesang Pangarep, sang bungsu, sedang melangkah menuju Pilkada Jakarta dengan dukungan politik besar-besaran. Semua dalam garis darah yang sama, dalam jejaring kuasa yang sama.
Apa yang dulu disebut politik keluarga Cendana kini terasa seperti reinkarnasi—bedanya, kali ini berlangsung di depan kamera, tanpa rasa malu.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dulu menaungi Jokowi pun akhirnya mengambil jarak. Kartu Tanda Anggotanya dicabut. Tapi bukan berarti keadilan kembali tegak—hanya menunjukkan bahwa bahkan partai tempatnya bernaung pun tak lagi bisa menampung kegaduhan moral yang ditinggalkannya.
Kini, setelah dua periode berkuasa, Indonesia seperti kehilangan arah. Angka kemiskinan membeku, pendidikan tergerus, dan kesenjangan melebar. Infrastruktur yang megah tak menutupi kehancuran nilai di bawahnya. Negeri ini dibangun di atas fondasi kebohongan, dan kebohongan itu kini menuntut balas.
Seorang pengamat politik di Yogyakarta menyimpulkan dengan getir, “Kita sedang memanen akibat dari mendustai seluruh rakyat.”
Mens rea-nya memang sudah ketahuan. Tapi selama hukum tetap dikuasai, kejahatan itu akan terus bersembunyi dalam bentuk yang paling halus: kebijakan publik yang tampak sah, tapi sejatinya penuh dosa asal.

























