Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI).
Jakarta, Fusilatnews.- Naif. Menyesal. Minta maaf. Demikianlah Amien Rais, sehingga Ketua MPR RI ke-11 (1999-2004) itu kini setuju dengan wacana amandemen kembali Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 untuk antara lain mengembalikan sistem pemilihan presiden dari langsung oleh rakyat ke tidak langsung oleh MPR seperti sebelum tahun 2004.
Padahal, dulu Amien Rais adalah “provokator” MPR untuk melakukan amandemen UUD 1945. Bahkan bukan hanya sistem pemilihan presiden yang mereka ubah, Amien Rais juga sempat mengusulkan perubahan bentuk negara dari kesatuan seperti sejak merdeka hingga kini ke federal seperti Amerika Serikat.
Amien Rais mengaku naif, karena saat memimpin MPR melakukan amandemen konstitusi, bahkan hingga empat kali mulai 1999 sampai 2002, pihaknya memberangus kewenangan MPR dalam memilih presiden.
Pertimbangan dia saat itu, tak mungkin peserta pilpres akan menyogok 170 juta pemilih di Indonesia. Namun ternyata faktanya bisa, sehingga habislah uang ratusan triliun rupiah untuk apa yang disebut “money politics” (politik uang).
Mantan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) ini kemudian menyesal karena telah melakukan amandemen UUD 1945. Lantas ia pun minta maaf.
Pernyataan merasa naif dan menyesal kemudian minta maaf itu disampaikan Amien Rais saat bertemu Pimpinan MPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/6/2024).
Bertemu dengan Amien Rais merupakan bagian dari agenda Pimpinan MPR bertemu dengan tokoh-tokoh bangsa dalam rangka menyerap aspirasi terkait wacana amandemen ke-5 UUD 1945.
Ketua MPR Bambang Soesatyo berdalih, jika semua fraksi di MPR setuju dengan wacana amandemen konstitusi maka pihaknya akan segera melakukannya. Pasalnya, amandemen konstitusi sebanyak empat kali telah menjadikan bangsa ini kehilangan arah dan mengalami disorientasi.
Sebelum Amien Rais, Pimpinan MPR telah bertemu dengan mantan Wakil Presiden Try Sutrisno dan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono.
Selanjutnya, selain akan bertemu Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, Presiden Joko Widodo dan Presiden terpilih Prabowo Subianto, Pimpinan MPR juga akan bertemu dengan tiga mantan wapres lainnya, yakni Hamzah Haz, Jusuf Kalla dan Boediono, serta ketua umum-ketua umum partai politik. Akankah mereka seperti Amien Rais, menyetujui amandemen ke-5 UUD 1945?
Entahlah. Yang jelas, alasan Amien Rais dan MPR saat itu mencabut kewenangan MPR memilih presiden, lalu kewenangan itu diberikan kepada rakyat, adalah untuk menghindari “money politics” yang kemungkinan akan diterima para anggota MPR.
Dalam bayangan Pak Amien, tak mungkin capres dan tim suksesnya menyogok rakyat yang jumlahnya sangat besar. Ternyata Pak Amien “kecele”. Akhirnya Amien Rais hendak memindahkan “money politics” itu dari rakyat ke wakil rakyat (MPR). Apalagi jumlah anggota MPR cuma 727 orang, yakni 575 anggota DPR dan 152 anggota DPD, sehingga jika ada “money politics” nominalnya tak sampai ratusan triliun.
Akan tetapi, Pak Amien agaknya alpa bahwa pemilihan calon pejabat publik apa pun di DPR kerap diwarnai politik dagang sapi atau politik transaksional. Saat memilih Miranda Goeltom sebagai Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia (BI), misalnya, tak sedikit wakil rakyat yang terlibat suap.
Pak Amien juga agaknya alpa bahwa sistem demokrasi “one man one vote” (satu orang satu suara) sejauh ini masih menjadi yang terbaik di dunia. Sistem tersebut memberikan peluang yang sama kepada warga negara, sebagaimana amanat konstitusi, yakni tiap-tiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.
Kalau pemilihan presiden lewat MPR, bagaimana bisa “wong cilik” (orang kecil) seperti Joko Widodo bisa terpilih menjadi presiden?
Bagaimana pula orang-orang yang bukan siapa-siapa terpilih menjadi gubernur, bupati atau walikota?
Jika pemilihan presiden dikembalikan ke MPR, diyakini pemilihan kepala daerah pun akan kembali dilakukan oleh DPRD seperti sebelum 2004.
Pemilihan presiden oleh MPR juga akan menciptakan oligarki di lembaga yang akan dikembalikan sebagai lembaga tertinggi negara itu.
Doyan “Money Politics”
Mengapa rakyat kemudian doyan politik “money politics” atau politik uang? Karena rakyat kini tak naif lagi. Mereka sudah jengah dikibuli wakil rakyat saat kampanye. Setelah terpilih, para wakil rakyat kebanyakan lupa akan janji-janjinya. Nah, saat suara mereka dibutuhkan di pemilu itulah rakyat memalak wakil atau calon wakilnya. Kalau tidak sekarang, mau kapan lagi? Begitu batin mereka.
Wakil rakyat tampaknya begitu senang mewakili rakyat. Bahkan sampai kesejahteraan rakyat pun diwakili oleh wakil rakyat. Mereka bergelimang harta sementara banyak rakyat menderita.
Mengapa Pimpinan MPR getol mewacanakan amandemen? Kata Bamsoet, bangsa ini telah kehilangan arah dan mengalami disorientasi akibat amandemen UUD 1945 yang kebablasan itu.
Bamsoet pula yang sejak awal mengusulkan amandemen konstitusi untuk memasukkan semacam GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) seperti di era kekuasaan rezim Orde Baru.
Kini, ketika Bamsoet kembali getol mewacanakan amandemen UUD 1945, memasukkan semacam GBHN itu sekadar siasat sebagai “entry point” atau titik masuk untuk melakukan amandemen konstitusi secara lebih luas lagi. Sebab itu kemudian muncul wacana mengembalikan sistem pemilihan presiden secara tak langsung.
Keinginan mengembalikan sistem pemilihan presiden secara langsung ke tidak langsung, serta perlunya memasukkan semacam GBHN ke dalam konstitusi juga mencerminkan pengakuan atas kebenaran rezim Orde Baru.
Padahal, mengembalikan sistem pemilihan presiden dari langsung ke tak langsung ibarat memutar balik jarum jam sejarah ke belakang. Demokrasi Indonesia akan mundur beberapa langkah ke belakang.
Kalau memang banyak kasus politik uang dalam pilpres langsung, cukuplah yang diperbaiki adalah sistemnya. Berantaslah politik uangnya dengan “law enforcement” atau penegakan hukum yang kuat dan adil, tak perlu mengubah sistemnya.
Ibarat di lumbung padi ada tikus, tangkaplah, tapi jangan bakar lumbungnya. Itulah!