Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, baru-baru ini mengundang Pak Amien Rais, sebagai aktor pelaku dan saksi sejarah amandemen UUD 1945. Tujuannya adalah untuk menggali latar belakang perubahan tersebut dan memahami esensinya. Pertemuan ini akhirnya menghasilkan kesimpulan yang mendukung kembalinya pemilihan Presiden oleh MPR RI. Mereka berpendapat bahwa dipilih oleh kelompok kecil akan lebih waras dan menghindari kegagalan yang disebabkan oleh politik uang dalam pemilihan langsung oleh rakyat.
Namun, mari kita selami lebih dalam. Apakah wacana ini sebenarnya sebuah solusi atau hanya ungkapan frustasi karena kehabisan ide baru?
Sejarah dan Kegagalan
Kembali ke era Bung Karno, UUD 45 ternyata gagal membawa kesejahteraan bagi rakyat dan mencapai cita-cita bangsa. Pemerintahan Bung Karno akhirnya runtuh, konon karena kudeta. Lalu, di bawah kekuasaan Suharto, meski stabilitas politik terjaga, demokrasi dan kebebasan berekspresi rakyat terbelenggu. Reformasi yang terjadi setelah era Suharto melahirkan amandemen UUD 1945, yang diharapkan membawa angin segar bagi demokrasi Indonesia. Namun, apakah amandemen tersebut benar-benar berhasil?
Kegagalan Sistem dan Demokrasi
Sistem politik yang ada justru semakin menunjukkan kerentanannya. Kerapuhan tatanan bernegara semakin nyata ketika praktik politik uang masih merajalela, seperti yang terlihat dalam operasi bansos di era Jokowi, yang diakui sebagai bentuk sogokan politik. Amandemen UUD 1945 yang memungkinkan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat ternyata tidak bisa sepenuhnya menghindari korupsi dan politik uang. Ini menunjukkan bahwa akar masalahnya bukan hanya pada sistem pemilihannya, tetapi juga pada integritas dan moralitas dalam politik itu sendiri.
Pemilihan Presiden oleh MPR: Solusi atau Masalah Baru?
Kembali ke pemilihan presiden oleh MPR mungkin tampak sebagai solusi cepat untuk menghindari politik uang. Namun, hal ini berpotensi menimbulkan masalah baru. Pemilihan oleh segelintir orang bisa membuka peluang bagi politik transaksional di balik layar, memperkuat oligarki dan menjauhkan rakyat dari proses demokrasi. Demokrasi sejatinya adalah kedaulatan rakyat, dan mengurangi peran rakyat dalam memilih pemimpinnya adalah langkah mundur.
Apa yang Diperlukan: Reformasi Sejati
Daripada kembali ke masa lalu dan sistem yang terbukti gagal, Indonesia membutuhkan reformasi sejati. Reformasi yang memperkuat integritas pemimpin, transparansi dalam pemerintahan, dan penegakan hukum yang tegas terhadap korupsi. Pendidikan politik bagi rakyat juga penting agar mereka bisa memilih pemimpin yang benar-benar berkualitas tanpa terpengaruh oleh politik uang.
Kembali ke UUD 45: Ide Lama untuk Masalah Baru
Mengusulkan kembali ke UUD 45 seperti mengulang lagu lama yang sudah usang. Ini adalah ungkapan frustasi karena tidak mampu menemukan ide baru yang relevan dengan tantangan zaman. Kita harus belajar dari sejarah dan berinovasi dalam mencari solusi. Setiap era memiliki tantangan dan konteks yang berbeda, dan kita tidak bisa terus-menerus berputar dalam lingkaran kebijakan yang sama.
Kesimpulannya, wacana kembali ke UUD 45 bukanlah jawaban. Ini adalah refleksi dari ketidakmampuan untuk beradaptasi dan berinovasi dalam menghadapi masalah masa kini. Alih-alih mengulang masa lalu, kita harus berani menghadapi kenyataan, memperbaiki sistem yang ada, dan menciptakan perubahan yang berkelanjutan demi masa depan Indonesia yang lebih baik. Sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang belajar dari kesalahannya dan terus berusaha untuk menjadi lebih baik, bukan yang terus-menerus terjebak dalam nostalgia masa lalu.