Oleh: Malika Dwi Ana
Frasa “negara kekuasaan” merujuk pada sistem di mana institusi negara lebih melayani konsolidasi dan kelanggengan elite politik ketimbang distribusi kemakmuran merata. Di era Jokowi (2014–2024), data, kebijakan, dan pola pengambilan keputusan menunjukkan dominasi logika kekuasaan atas logika kesejahteraan—meski infrastruktur fisik dibanggakan sebagai “kemajuan” dan prestasi seorang presiden. Berikut pembuktian sistematis.
- Kekuasaan Politik Mengalahkan Demokrasi
UU KPK 2019 melemahkan lembaga antirasuah dengan menempatkan Dewan Pengawas yang ditunjuk presiden—akibatnya, 72% kasus korupsi besar mandek sejak 2020 menurut ICW 2025. DKPP mencatat lebih dari 1.200 pelanggaran Bawaslu pada Pemilu 2024, dengan 68% melibatkan aparat negara—YLBHI menyebut ini sebagai “cawe-cawe” Jokowi melalui bansos dan logistik. Sementara itu, sembilan partai di parlemen 2024 didominasi koalisi Jokowi, termasuk PSI yang lolos ambang batas lewat “keajaiban” suara versi KPU. Pluralisme politik mati, demokrasi prosedural dikorbankan demi kontrol kekuasaan jangka panjang. Ekonomi untuk Elite, Bukan Rakyat
Hilirisasi nikel dijanjikan sebagai “kemakmuran rakyat”, tapi 82% investasi datang dari China menurut BKPM, sementara 78% karang di Raja Ampat rusak akibat sedimentasi—WWF 2025. Omnibus Law (UU Cipta Kerja) menjanjikan lapangan kerja, tapi outsourcing naik 18% dan UMP riil turun 2,1% setelah inflasi menurut BPS. Tax Amnesty 2016–2017 hanya mengumpulkan Rp114 triliun tebusan dari target Rp11.000 triliun, dengan 87% peserta adalah konglomerat. IKN dijanjikan non-APBN dan investor antri, tapi realisasinya 98% dari APBN/PMN (Rp72 triliun) dan investor asing hanya Rp2,8 triliun. Penerima manfaat utama: oligarki tambang, BUMN, dan kontraktor Jakarta.
Ratio naik dari 0,388 (2020) menjadi 0,394 (2024) sebelum turun tipis ke 0,391 (Q2 2025)—ketimpangan memburuk meski pertumbuhan ekonomi rata-rata 5%.
- Infrastruktur: Monumen Kekuasaan, Bukan Multiplier Effect
Tol Trans-Jawa menelan biaya Rp745 triliun tapi memiliki tarif tertinggi se-Asia Tenggara (Rp1.200/km), dengan 70% pengguna dari kelas menengah-atas menurut BPS 2025. IKN tetap simbol “Jakarta sentrisme” dengan nol investor asing signifikan. KCJB rugi Rp92 triliun per tahun dan mendapat suntikan APBN Rp4,1 triliun pada 2025 meski okupansi hanya 65% dan mayoritas penumpang kelas bisnis. Efek pengganda infrastruktur turun dari 1,8 (era SBY) menjadi 1,2 (era Jokowi)—terendah dalam 20 tahun menurut Bappenas 2025. Bansos: Alat Kontrol Sosial, Bukan Pemberdayaan
Total bansos 2019–2024 mencapai Rp2.100 triliun, tapi 68% disalurkan tiga bulan sebelum pemilu. Kemiskinan hanya turun 0,3 poin dalam lima tahun (dari 9,2% ke 8,9%), dan 82% dari 27 juta keluarga penerima manfaat tidak memiliki jalur keluar—SMERU Research. Bansos jadi “opium rakyat”, bukan tangga untuk naik kelas. Karena mendidik masyarakat untuk ketergantungan terhadap pemberian, bukan menciptakan masyarakat berdaya dan berpikir soal kemandirian.Kebohongan Terstruktur: DNA Kekuasaan
Janji pertumbuhan 7% tidak pernah tercapai (rata-rata 5,03%). IKN non-APBN ternyata 98% dari APBN. Esemka produksi massal berujung pabrik mati. KCJB tanpa APBN ternyata butuh PMN Rp4,1 triliun. Trust Index Pemerintah turun dari 72 (2014) menjadi 48 (2024)—terendah sejak Reformasi menurut Indikator Politik Indonesia 2025.
Kesimpulan: Negara Kekuasaan, Bukan Kemakmuran
Pusat kekuasaan: Istana, oligarki, BUMN. Penerima manfaat utama: elite politik, kontraktor, konglomerat. Korban: buruh, nelayan, UMKM, lingkungan, demokrasi. Warisan: infrastruktur megah + utang Rp8.500 triliun + ketimpangan + distrust.
Jokowi membangun monumen kekuasaan yang tampak megah dari luar, tapi rapuh dari dalam—dibayar dengan hilangnya kepercayaan publik, kerusakan ekologi, dan ketimpangan struktural.
Era Prabowo mencoba beralih ke “negara kesejahteraan populis” via MBG, DHE SDA, dan efisiensi APBN—tapi fondasi kekuasaan ala Jokowi masih membayangi: Danantara, intervensi pasar, narasi “kemandirian” yang sering menutupi inefisiensi.
Pun jika institusi negara direformasi—bukan sekadar diganti orang—Indonesia akan tetap jadi negara kekuasaan, bukan negara kemakmuran.(Malika’s Insight, 28/10/2025)
Oleh: Malika Dwi Ana























