“Di negeri ini, kebenaran harus antre, sementara kebohongan naik pangkat lebih dulu.”
– Catatan dari rakyat yang sudah muak.
Fusilatnews – Kalau kita masih punya rasa malu, mestinya kita sudah menggelar tikar dan mengaji ulang arti bernegara. Tapi sayangnya, rasa malu itu sudah mengungsi entah ke mana. Yang tersisa hanya tebal muka, tipis nurani. Sepuluh tahun pemerintahan Joko Widodo telah menjadikan republik ini tak ubahnya panggung teater—aktor utamanya penguasa, penontonnya rakyat, dan naskahnya penuh tipu-tipu.
Bangsa ini seperti kehilangan kemampuan membedakan benar dan salah. Hukum diacak-acak seperti main monopoli, ditafsir sesuai pesanan. Lembaga negara seperti papan catur: bidaknya disusun, dikorbankan, atau dipromosikan sesuai strategi kekuasaan. Yang kuat menang, yang lemah harus mingkem. Yang bicara kebenaran, dicap pembuat gaduh.
Korupsi? Sudah bukan berita. Ia seperti warung kelontong di pojokan gang: selalu buka, selalu ramai. Dari pusat hingga desa, dari gedung DPR sampai ke lorong-lorong birokrasi, semua seakan rebutan rezeki haram. Dan tak cukup di situ—politik pun diperkosa jadi alat jual beli kepentingan. Transaksi jabatan, sogokan proyek, barter suara. Semua telanjang, disiarkan langsung, dan anak di bawah umur pun ikut menonton sambil makan mi instan.
Ini bukan sekadar kegagalan. Ini penghinaan terhadap akal sehat. Kita pernah percaya pada janji sederhana: kerja, kerja, kerja. Tapi yang kita terima malah dusta, dusta, dusta. Yang dijanjikan merakyat, yang lahir justru dinasti. Yang dipromosikan sederhana, ternyata pandai bermain di belakang layar.
Maka tak bisa tidak, harus ada deklarasi keras dan terang: Kapok!
Kapok dibohongi. Kapok disuguhi drama. Kapok jadi penonton dari panggung sandiwara lima tahunan yang terus-menerus menyakiti.
Revolusi yang kita butuhkan hari ini bukan dengan senjata, tapi dengan kesadaran. Kesadaran untuk tak lagi memilih pemimpin karena baliho dan jingle. Kesadaran untuk menolak pemimpin yang lidahnya dua, tapi dompetnya satu—dan selalu terbuka untuk para cukong.
Kita butuh pemimpin yang membawa terang, bukan sekadar lampu sorot kamera. Kita butuh pemimpin yang jujur meski tak populer, bukan yang populer tapi selalu menyelipkan dusta di setiap senyumnya.
Mahbub Djunaidi mungkin akan berkata: “Negeri ini terlalu serius dalam berbohong, dan terlalu malas dalam mencari kebenaran.” Dan kita sekarang sedang membayar harga dari kelengahan itu.
Maka mari kita kirim kabar ke seluruh penjuru republik: Ini saatnya kapok.
Bukan kapok karena kalah, tapi kapok karena terus membiarkan diri ditipu.
Kapok pada pemimpin pendusta adalah tanda kita masih punya harga diri.
Kalau tidak sekarang, kapan lagi?
Kalau bukan kita, siapa lagi?

























