• Login
ADVERTISEMENT
  • Home
  • News
    • Politik
    • Pemilu
    • Criminal
    • Economy
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Sport
    • Jobs
  • Feature
  • World
  • Japan
    • Atarashi Watch On
    • Japan Supesharu
    • Cross Cultural
    • Study
    • Alumni Japan
  • Science & Cultural
  • Consultants
    • Law Consultants
    • Spiritual Consultant
  • Indonesia at Glance
  • Sponsor Content
No Result
View All Result
  • Home
  • News
    • Politik
    • Pemilu
    • Criminal
    • Economy
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Sport
    • Jobs
  • Feature
  • World
  • Japan
    • Atarashi Watch On
    • Japan Supesharu
    • Cross Cultural
    • Study
    • Alumni Japan
  • Science & Cultural
  • Consultants
    • Law Consultants
    • Spiritual Consultant
  • Indonesia at Glance
  • Sponsor Content
No Result
View All Result
Fusilat News
No Result
View All Result
ADVERTISEMENT
Home Crime

Roy Suryo Dipenjara, Bukan Karena Meme — Tapi Karena Membongkar Ijazah Jokowi?

Damai Hari Lubis - Mujahid 212 by Damai Hari Lubis - Mujahid 212
April 5, 2025
in Crime, Feature
0
Roy Suryo Kaji Langkah Hukum – Ketua KPU Tuding Roy Suryo “Tukang Fitnah”
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh: Damai Hari Lubis – Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)

Jika publik melakukan kilas balik terhadap siapa saja yang pernah dilaporkan karena dianggap menista atau menghina individu, kelompok, atau golongan tertentu yang menimbulkan kebencian (hate speech) dan kemudian dapat dijerat dengan pasal penodaan agama berdasarkan KUHP jo. UU ITE, maka akan ditemukan sejumlah nama. Anehnya, banyak di antaranya justru tidak pernah sampai ke meja hijau.

Sebutlah nama-nama seperti Sukmawati, Ade Armando, Abu Janda (Permadi Arya), Denny Siregar, Yaqut, hingga Pendeta Gilbert. Semua kasus mereka konon bisa “diselesaikan secara baik-baik”, entah melalui restorative justice, atau “fasilitas khusus” lain yang tak pernah transparan. Namun mengapa perlakuan berbeda justru diterapkan pada Dr. Roy Suryo, mantan Menpora era SBY sekaligus pakar telematika dan IT, yang justru harus dipenjara terlebih dahulu sebelum divonis pengadilan?

Kasus yang menimpa Roy bermula dari repost meme sebuah stupa Buddha yang wajahnya diilustrasikan menyerupai Presiden Jokowi. Padahal gambar tersebut adalah karya satir yang bersifat imajinatif, bukan replika yang secara pasti menunjuk pada wajah asli Jokowi.

Pertanyaannya, seberapa besar kesalahan Roy dibandingkan dengan pelaku-pelaku ujaran kebencian lain? Mengapa terhadap Roy proses hukum dipaksakan hingga ke vonis penjara, sementara yang lain seakan dilindungi dan berakhir “damai”?

Lebih mencolok lagi, banyak konten serupa—bahkan lebih ekstrem—masih beredar di media sosial. Gambar yang memperlihatkan Jokowi dalam peti mati ala Fir’aun, misalnya, justru tak pernah disentuh hukum. Apakah karena yang menyebarkan bukan Roy Suryo, Rocky Gerung, Eggi Sudjana, atau HRS?

Apakah hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, atau dalam konteks hari ini: tajam ke oposisi, tumpul ke loyalis?

Menurut penulis, akar dari kriminalisasi Roy bukan semata karena meme stupa itu. Ada benang merah yang lebih dalam dan lama: analisis ilmiah Roy terkait kejanggalan ijazah Presiden Jokowi yang dipublikasikannya pada tahun 2020. Ia mengungkap adanya keanehan pada font dalam ijazah Jokowi—yang menurut kajian Roy belum dikenal atau digunakan pada tahun 1985, saat Jokowi diklaim lulus dari Fakultas Kehutanan UGM.

Cuitan Roy tanggal 25 Februari 2020 pukul 13.27 WIB dari akun @KRMTRoySuryo2 yang memuat empat dokumen pendukung, termasuk cuplikan OPAC UGM dan skripsi serta ijazah Jokowi, menjadi bahan kritik yang tidak pernah dijawab secara akademik maupun institusional. Tak ada klarifikasi, tak ada sanggahan berbasis ilmu. Yang ada justru serangan balik lewat jalur hukum dengan menjerat Roy melalui perkara meme stupa.

Inilah ironi. Sebuah kritik ilmiah dari seorang akademisi justru dibalas dengan pembungkaman. Roy dihukum bukan karena meme-nya, melainkan karena menyentuh sisi gelap kekuasaan: keabsahan ijazah Jokowi.

Jika ada pihak yang merasa dirugikan oleh analisis Roy, mestinya menjawab dengan bukti akademik, bukan balas dendam lewat pasal karet.

Kasus Roy Suryo menjadi preseden buruk dalam demokrasi. Negara telah gagal membedakan antara kritik akademik dengan ujaran kebencian. Bahkan, ketika seorang tokoh umat Buddha menyatakan tidak keberatan atas meme yang dipersoalkan, tetap saja Roy dijebloskan ke penjara.

Publik juga mencatat, akun pemula yang pertama kali mem-posting meme stupa itu—yang diduga bagian dari jaringan buzzer kekuasaan—justru aman dari jeratan hukum. Sementara Roy, yang hanya repost, diproses secara cepat dan keras.

Mengapa?

Karena Roy adalah simbol perlawanan intelektual terhadap kekuasaan yang anti-intelektualisme. Ia adalah alumni UGM sejati—kampus yang dulu menjunjung tinggi ilmu dan moralitas, namun kini diduga sebagian aparaturnya telah terkontaminasi oleh kepentingan birokrasi dan kekuasaan.

Rektorat dan dekanat yang seharusnya menjaga marwah keilmuan, kini justru ditengarai terlibat dalam pembenaran ijazah palsu. Bahkan seorang guru besar hukum pidana UGM dinilai turut menjadi bagian dari “advokat hitam” yang membela kejahatan intelektual dengan logika yang manipulatif.

Inilah wajah kelam dari extraordinary crime dalam dunia intelektual Indonesia: pemalsuan ijazah, konspirasi kekuasaan, dan pembungkaman ilmu pengetahuan.

Roy Suryo adalah contoh nyata bagaimana seorang intelektual bisa dikriminalisasi hanya karena mempertanyakan keabsahan sebuah dokumen akademik dari seorang kepala negara. Bukan hanya Roy yang menjadi korban, tapi seluruh prinsip demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas ikut dilanggar.

Alih-alih mengapresiasi peran serta masyarakat dalam pengawasan kekuasaan, negara justru memenjarakan mereka yang bersuara. Ini bukan sekadar pelanggaran hak Roy, tapi juga pelecehan terhadap ilmu pengetahuan.

Jika negara sungguh menjunjung rule of law, maka sudah seharusnya kebenaran dibuka secara jujur, dan analisis Roy diuji secara ilmiah, bukan dijadikan dasar untuk menutup ruang kebebasan akademik.

Dr. Roy Suryo mungkin telah menjalani 9 bulan penjara. Namun sejarah mencatat, bahwa ketidakadilan terhadapnya adalah simbol kegagalan negara dalam menghormati intelektualitas, ilmu pengetahuan, dan suara kebenaran.

Dan karenanya, selaku bagian dari civitas akademika sejati, Roy layak dikenang bukan sebagai pesakitan, tapi sebagai representasi heroik dari nalar waras yang kini makin terasing di negeri ini.

 

Get real time update about this post categories directly on your device, subscribe now.

Unsubscribe
ADVERTISEMENT
Previous Post

Menjadi Pengusaha Sukses Luar Biasa di Indonesia: Antara Bisnis dan Kekuasaan

Next Post

Apa Yg Palsu: Giginya atau Ijazahnya?

Damai Hari Lubis - Mujahid 212

Damai Hari Lubis - Mujahid 212

Related Posts

Mayoritas Korban KDRT di Tangsel Pilih Gugat Cerai Suami daripada Lapor Polisi, Kok Bisa?
Crime

Mayoritas Korban KDRT di Tangsel Pilih Gugat Cerai Suami daripada Lapor Polisi, Kok Bisa?

November 1, 2025
Mengapa Bangsa Ini Masih Suka Memilih Pemimpin Yang Bodoh?
Feature

Mengapa Bangsa Ini Masih Suka Memilih Pemimpin Yang Bodoh?

November 1, 2025
Petani vs. Tengkulak: Musuh dalam Selimut atau Mitra Sejati?
Feature

Kelompok Tani di Persimpangan Jalan: Antara Kemandirian dan Ketergantungan

November 1, 2025
Next Post
Apa Yg Palsu: Giginya atau Ijazahnya?

Apa Yg Palsu: Giginya atau Ijazahnya?

Jurnalis Dibungkam, Demokrasi Tercekik: Kasus Juwita dan Ancaman Ganda terhadap Kebebasan Pers dan Hak Perempuan

Jurnalis Dibungkam, Demokrasi Tercekik: Kasus Juwita dan Ancaman Ganda terhadap Kebebasan Pers dan Hak Perempuan

Notifikasi Berita

Subscribe

STAY CONNECTED

ADVERTISEMENT

Reporters' Tweets

Pojok KSP

  • All
  • Pojok KSP
Mayoritas Korban KDRT di Tangsel Pilih Gugat Cerai Suami daripada Lapor Polisi, Kok Bisa?
Crime

Mayoritas Korban KDRT di Tangsel Pilih Gugat Cerai Suami daripada Lapor Polisi, Kok Bisa?

by Karyudi Sutajah Putra
November 1, 2025
0

Jakarta-FusilatNews - Sebanyak 31 perempuan korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) di Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Banten, memilih untuk menggugat...

Read more
Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Gelar Pahlawan Soeharto

Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Gelar Pahlawan Soeharto

October 31, 2025
Tragis Indonesia dari Negara Pengekspor ke Pengimpor Energi

Bahlil dan Sindrom L’Etat c’est Moi

October 25, 2025
Prev Next
ADVERTISEMENT
  • Trending
  • Comments
  • Latest
Pernyataan WAPRES Gibran Menjadi Bahan Tertawaan Para Ahli Pendidikan.

Pernyataan WAPRES Gibran Menjadi Bahan Tertawaan Para Ahli Pendidikan.

November 16, 2024
Zalimnya Nadiem Makarim

Zalimnya Nadiem Makarim

February 3, 2025
Beranikah Prabowo Melawan Aguan?

Akhirnya Pagar Laut Itu Tak Bertuan

January 29, 2025
Borok Puan dan Pramono Meletup Lagi – Kasus E-KTP

Borok Puan dan Pramono Meletup Lagi – Kasus E-KTP

January 6, 2025
Copot Kapuspenkum Kejagung!

Copot Kapuspenkum Kejagung!

March 13, 2025
Setelah Beberapa Bulan Bungkam, FIFA Akhirnya Keluarkan Laporan Resmi Terkait Rumput JIS

Setelah Beberapa Bulan Bungkam, FIFA Akhirnya Keluarkan Laporan Resmi Terkait Rumput JIS

May 19, 2024
Salim Said: Kita Punya Presiden KKN-nya Terang-terangan

Salim Said: Kita Punya Presiden KKN-nya Terang-terangan

24
Rahasia Istana Itu Dibuka  Zulkifli Hasan

Rahasia Istana Itu Dibuka  Zulkifli Hasan

18
Regime Ini Kehilangan Pengunci Moral (Energi Ketuhanan) – “ Pemimpin itu Tak Berbohong”

Regime Ini Kehilangan Pengunci Moral (Energi Ketuhanan) – “ Pemimpin itu Tak Berbohong”

8
Menguliti : Kekayaan Gibran dan Kaesang

Menguliti : Kekayaan Gibran dan Kaesang

7
Kemana Demonstrasi dan Protes Mahasiswa Atas Kenaikan BBM Bermuara?

Kemana Demonstrasi dan Protes Mahasiswa Atas Kenaikan BBM Bermuara?

4
Kemenag Bantah Isu Kongkalikong Atur 1 Ramadan

Kemenag Bantah Isu Kongkalikong Atur 1 Ramadan

4
Mayoritas Korban KDRT di Tangsel Pilih Gugat Cerai Suami daripada Lapor Polisi, Kok Bisa?

Mayoritas Korban KDRT di Tangsel Pilih Gugat Cerai Suami daripada Lapor Polisi, Kok Bisa?

November 1, 2025
Mengapa Bangsa Ini Masih Suka Memilih Pemimpin Yang Bodoh?

Mengapa Bangsa Ini Masih Suka Memilih Pemimpin Yang Bodoh?

November 1, 2025
Petani vs. Tengkulak: Musuh dalam Selimut atau Mitra Sejati?

Kelompok Tani di Persimpangan Jalan: Antara Kemandirian dan Ketergantungan

November 1, 2025
Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Gelar Pahlawan Soeharto

Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Gelar Pahlawan Soeharto

October 31, 2025
Mengkultuskan Jokowi sebagai Nabi: Membakar Dupa di Atas Jerami Kering

Tertawa Bersama Pak Said Didu: Ketika Angka Jokowi Tak Lagi Lucu

October 31, 2025

Kekuasaan yang Menyeleweng Adalah Pengkhianatan terhadap UUD 1945

October 31, 2025

Group Link

ADVERTISEMENT
Fusilat News

To Inform [ Berita-Pendidikan-Hiburan] dan To Warn [ Public Watchdog]. Proximity, Timely, Akurasi dan Needed.

Follow Us

About Us

  • About Us

Recent News

Mayoritas Korban KDRT di Tangsel Pilih Gugat Cerai Suami daripada Lapor Polisi, Kok Bisa?

Mayoritas Korban KDRT di Tangsel Pilih Gugat Cerai Suami daripada Lapor Polisi, Kok Bisa?

November 1, 2025
Mengapa Bangsa Ini Masih Suka Memilih Pemimpin Yang Bodoh?

Mengapa Bangsa Ini Masih Suka Memilih Pemimpin Yang Bodoh?

November 1, 2025

Berantas Kezaliman

Sedeqahkan sedikit Rizki Anda Untuk Memberantas Korupsi, Penyalahgunaan kekuasaan, dan ketidakadilan Yang Tumbuh Subur

BCA No 233 146 5587

© 2021 Fusilat News - Impartial News and Warning

No Result
View All Result
  • Home
  • News
    • Politik
    • Pemilu
    • Criminal
    • Economy
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Sport
    • Jobs
  • Feature
  • World
  • Japan
    • Atarashi Watch On
    • Japan Supesharu
    • Cross Cultural
    • Study
    • Alumni Japan
  • Science & Cultural
  • Consultants
    • Law Consultants
    • Spiritual Consultant
  • Indonesia at Glance
  • Sponsor Content

© 2021 Fusilat News - Impartial News and Warning

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

 

Loading Comments...