Pertanyaan itu sederhana, bahkan klise. Namun, justru karena kesederhanaannya, ia kerap luput dijawab secara jernih. “Siapa dirimu?”—sebuah tanya yang tak bisa dijawab dengan sekadar menyebut nama, gelar, atau alamat. Identitas seseorang, seperti disadari atau tidak, adalah hasil dari rangkaian panjang proses sosial, pendidikan, ekonomi, dan keagamaan yang menubuh dalam dirinya.
Latar belakang pendidikan, misalnya, sering dianggap sekadar jalur menuju pekerjaan. Padahal ia lebih dari itu. Pendidikan membentuk cara berpikir: apakah seseorang terbiasa bertanya atau pasrah menerima jawaban; apakah ia menganggap otoritas sebagai sesuatu yang bisa digugat atau harus dipatuhi tanpa syarat. Di sini, “siapa dirimu” perlahan dipahat oleh ruang kelas, buku-buku, hingga guru-guru yang ditemuinya.
Agama pun memainkan peran yang subtil. Ia bukan hanya soal keyakinan metafisik, melainkan juga habitus: bagaimana seseorang berdoa, mengelola rasa bersalah, menilai orang lain, atau bahkan menertawakan dunia. Agama menanamkan kosakata moral yang kelak menjadi bingkai dalam menafsirkan peristiwa. Dengan itu, identitas terbentuk dalam lanskap keimanan, dalam ritme doa yang diulang setiap hari, dalam ritual yang tak pernah berhenti memberi tanda tentang “siapa kita”.
Kelas ekonomi—yang sering dihindari dalam obrolan sehari-hari—justru bekerja paling nyata. Dari kelaslah lahir selera. Bourdieu menulis: selera bukan bawaan lahir, melainkan produk dari posisi sosial. Seseorang yang tumbuh di keluarga pekerja, misalnya, memiliki orientasi berbeda dalam menikmati seni, memilih pakaian, bahkan merayakan waktu senggang, dibanding mereka yang sejak kecil akrab dengan kemewahan. Selera itulah yang diam-diam meneguhkan batas: apa yang pantas, apa yang indah, apa yang bernilai.
Lalu lingkungan sosial: tetangga, teman sebaya, rekan kerja. Semua membentuk ruang gema, memperkuat apa yang kita percaya, atau justru memberi resistensi yang menajamkan sikap. Di dalam interaksi sosial itu, identitas bukan sesuatu yang statis, melainkan terus-menerus dinegosiasikan. Kita bukan hanya “anak dari keluarga tertentu” atau “alumni universitas tertentu”, melainkan juga bagian dari lingkaran pertemanan, organisasi, bahkan komunitas daring yang menciptakan norma baru tentang apa artinya menjadi diri sendiri.
Pada akhirnya, “siapa dirimu” bukanlah sebuah titik tetap. Ia lebih menyerupai peta yang selalu diperbarui: garis-garisnya ditarik oleh pendidikan, warnanya diisi oleh agama, kontur dan reliefnya dibentuk oleh kelas ekonomi, dan dinamika perjalanannya digerakkan oleh lingkungan sosial.
Maka, ketika seseorang menyebut dirinya, yang hadir bukan hanya satu sosok tunggal, melainkan sebuah mozaik—yang tiap kepingnya adalah sejarah kecil dari latar belakangnya. Dengan kata lain, kita bukan hanya hasil pilihan pribadi, tetapi juga produk dari struktur yang membentuk pilihan-pilihan itu.
“Siapa dirimu?” barangkali tak pernah bisa dijawab tuntas. Tapi setiap kali pertanyaan itu muncul, kita akan menyadari: diri kita bukan sekadar milik kita. Ia adalah jejak pendidikan, gema agama, bayangan kelas, dan pantulan lingkungan sosial yang selalu bergerak di sekeliling kita.