Oleh Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Silfester Matutina pernah tampil garang di layar kaca. Dengan dada membusung, ia berkoar-koar hendak menjerat para aktivis yang menuding Jokowi menggunakan ijazah palsu. Retorikanya keras, nadanya penuh ancaman. Namun kini, ternyata semua hanya pepesan kosong. Silfester bukan “pemburu”, melainkan justru “buruan.”
Faktanya, ia sempat dicatat dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di Reskrimum Polda Metro Jaya sebagai saksi pemberat. Ironisnya, sekarang bukan Roy Cs yang ketakutan, tapi Silfester sendiri yang dikejar emak-emak aktivis hingga ke pintu Kejaksaan Agung dan Kejari Jakarta Selatan. Dari tokoh garang di televisi, ia berubah jadi sosok yang raib bak ditelan bumi.
Pertanyaan publik sederhana: mengapa Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Jakarta Selatan seolah ciut mengeksekusi Silfester, padahal permohonan Peninjauan Kembali (PK) sudah ditolak? Apakah ada kamar rahasia di istana Solo tempat Silfester bersembunyi, bernaung di bawah perlindungan “The Phony King”—sosok yang pandai berkombur, pandir bicara, namun rapuh ketika kebenaran diuji?
Ketika aparat penegak hukum ragu mengeksekusi seorang loyalis, pesan yang terbaca jelas: hukum tak lagi netral, melainkan tawanan politik. Hukum tak lagi bicara hitam-putih, tapi bergantung pada siapa yang sedang dekat dengan kekuasaan.
Jika JPU serius, mereka tak perlu menunggu momentum. Kulo nuwun ke Solo, geledah rumah junjungan Silfester, dan jalankan amar putusan. Sebab, hukum yang takut pada pecinta kekuasaan adalah hukum yang mati suri. Dan bangsa ini tak butuh hukum yang berfungsi hanya sebagai ornamen demokrasi—indah di teks, tapi busuk di praktik.