Fusilatnews – Kebijakan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menempatkan aparat TNI untuk menjaga Gedung DPR/MPR RI adalah langkah yang bukan saja menyalahi konstitusi, melainkan juga memperlihatkan wajah politik ketakutan yang semakin mengakar di republik ini. Di depan Gedung DPR, barisan kendaraan taktis dan prajurit bersenjata berdiri gagah, seolah-olah bangsa ini sedang menghadapi invasi asing. Padahal, ancaman yang mereka bentengi hanyalah suara rakyat sendiri—demonstrasi, kritik, dan aspirasi yang lahir dari kekecewaan terhadap para wakilnya.
Secara hukum, mandat TNI sudah jelas: menjaga kedaulatan negara dari ancaman eksternal, bukan menjadi satpam gedung sipil. Kehadiran mereka di Senayan hari ini menyalahi batas fungsi dan tupoksi, bahkan dapat dianggap sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Jika TNI dipakai untuk melindungi DPR dari rakyat, bukankah ini berarti DPR telah menjelma benteng oligarki, bukan lagi rumah rakyat?
Pernyataan Sjafrie bahwa penjagaan ini adalah “simbol kedaulatan negara” terdengar ironis. Justru sebaliknya, ini adalah simbol ketakutan. Negara yang benar-benar berdaulat tidak pernah merasa perlu memamerkan tank di depan gedung parlemen untuk menghadapi mahasiswa, buruh, atau rakyat yang bersuara lantang. Kedaulatan sejati dibangun dari legitimasi politik yang lahir dari kepercayaan rakyat, bukan dari moncong senjata.
Langkah ini berbahaya karena membuka pintu normalisasi keterlibatan militer dalam urusan sipil. Demokrasi yang kita bangun dengan susah payah pasca-Reformasi 1998 bisa terkikis jika TNI kembali dibiarkan menginjakkan kaki di ruang-ruang sipil. Jika hari ini TNI ditugaskan menjaga DPR, lalu besok siapa lagi? Apakah mereka juga akan menjaga kantor partai politik, media massa, bahkan jalanan kota, dengan dalih “kondusif”?
Ketua YLBHI, Muhamad Isnur, benar ketika menyebut kebijakan ini tidak tepat. Penempatan TNI di DPR adalah distorsi fungsi konstitusional. Lebih jauh, ini juga penghinaan terhadap Polri yang memang memiliki kewenangan menjaga ketertiban sipil. Dengan menghadirkan TNI di Senayan, seakan-akan negara ingin menunjukkan bahwa rakyat adalah musuh, bukan pemilik sah republik.
Pada akhirnya, yang terancam bukanlah DPR, melainkan demokrasi itu sendiri. Menghadapi kritik dengan tameng prajurit dan kendaraan taktis hanya menegaskan bahwa para penguasa hari ini kehilangan moral dan keberanian untuk berdialog. Rakyat berteriak meminta perubahan, tapi jawaban negara adalah barisan tentara. Inilah wajah rezim yang lebih takut pada suara rakyat daripada pada ancaman asing: rezim yang kehilangan legitimasi, lalu mencari perlindungan di balik seragam hijau loreng.