Fusilatnews – Ketika Tuhan menurunkan kitab-kitab suci-Nya, lalu mengutus para nabi dan rasul-Nya, logika yang langsung muncul di benak manusia adalah: supaya manusia tercerahkan, mendapat petunjuk, lalu berjalan di jalan lurus. Tujuan itu tampak begitu jelas, karena apa gunanya wahyu dan risalah jika manusia dibiarkan dalam kegelapan? Kitab hadir sebagai pedoman, nabi hadir sebagai teladan, dan keduanya ditujukan untuk kemaslahatan manusia.
Namun di sisi lain, terdapat keterangan lain yang justru menghadirkan semacam paradoks: hidayah adalah hak prerogatif Allah. Manusia tidak bisa memaksa, kitab tidak bisa menjamin, bahkan rasul pun tidak bisa memastikan siapa yang benar-benar mendapat hidayah. Ayat yang menegaskan “Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki” seolah menegasikan rasionalitas misi kerasulan itu sendiri. Inilah absurditas yang tak pernah selesai diperdebatkan.
Jika manusia dituntut untuk beriman melalui kitab dan teladan rasul, tetapi kuncinya tetap berada di genggaman Tuhan semata, di mana letak keadilan logikanya? Apakah wahyu hanya sekadar panggilan kosong yang bisa saja tidak berbuah karena Allah tidak menurunkan hidayah kepada seseorang? Ataukah wahyu dan kerasulan itu justru instrumen dari mekanisme hidayah itu sendiri—jalan formal yang mesti dilalui meski hasilnya tetap misteri?
Di titik inilah umat beragama sering terombang-ambing. Hadis, yang merupakan ucapan manusia—betapapun dekatnya dengan sumber kebenaran—tetaplah interpretasi, kesaksian, dan penjelasan yang bisa salah, bisa benar, bisa bias, bisa pula suci. Sementara itu, ayat kauniah—yaitu tanda-tanda Tuhan dalam alam semesta—adalah wahyu yang langsung hadir pada setiap orang, tanpa perantara, tanpa sanad. Ia universal, dapat dibaca oleh siapa saja, tanpa perlu label agama tertentu.
Di sinilah letaknya ironi: kitab dan hadis selalu membutuhkan tafsir, sementara langit yang luas dan tanah yang retak tidak meminta otoritas siapa pun untuk menjelaskannya. Ayat kauniah tampil sebagai bahasa yang tak mungkin dipalsukan; bintang tetap bersinar meski manusia buta huruf, hujan tetap turun meski tak seorang pun menghafal hadis. Hanya saja, manusia sering memilih menutup mata terhadap wahyu yang hadir tanpa teks, karena ia terlalu jujur, terlalu bebas dari kepentingan, terlalu tak bisa dijadikan alat legitimasi.
Pertanyaannya kemudian: jalan mana yang lebih utama? Apakah kita harus tunduk pada sistem otoritas teks dan tafsir, ataukah kita lebih jujur dengan ayat-ayat kauniah yang hadir sebagai wahyu eksistensial?
Barangkali jawabannya bukan “memilih salah satu,” melainkan menyadari bahwa absurditas ini adalah bagian dari misteri ketuhanan itu sendiri. Tuhan memberi kitab dan rasul agar manusia punya pijakan. Tetapi hak prerogatif-Nya atas hidayah adalah cara-Nya mengingatkan bahwa kebenaran tak bisa dipasung hanya oleh teks, dogma, atau tafsir manusia. Ia tetap bebas, tetap transenden, tetap di luar jangkauan kalkulasi logika.
Pada akhirnya, absurditas itu bukan sekadar kebingungan. Ia adalah undangan bagi manusia untuk terus berpikir, menimbang, mencari, dan pada saat yang sama merendahkan diri di hadapan misteri terbesar: bahwa dalam terang kitab dan rasul sekalipun, cahaya sejati tetap datang dari-Nya.