Fusilatnews – Di negeri yang katanya sedang sibuk menyiapkan “Makan Bergizi Gratis”, urusan sekadar nampan makan mendadak berubah menjadi diplomasi antarnegara. BPJPH, lembaga yang diberi tugas mengurus sertifikasi halal, merasa perlu berangkat jauh ke Tiongkok hanya untuk memastikan bahwa tray plastik tak tersentuh lemak babi. Kedengarannya mulia, seakan ada kesungguhan menjaga kesucian. Namun, di balik itu terselip absurditas yang sukar ditutupi.
Apakah benar negeri sebesar Indonesia tak mampu menguji sebuah produk plastik di laboratoriumnya sendiri? Sejak kapan teknologi sederhana—mengurai bahan baku, mendeteksi jejak asam lemak hewani—hanya bisa dilakukan di negeri pabrikan? Kita punya universitas, punya BPOM, punya laboratorium halal di berbagai daerah. Tetapi entah mengapa, birokrasi lebih suka menumpang pesawat, menginap di hotel, menggelar konferensi pers di bandara keberangkatan, ketimbang membuka pintu laboratorium di dalam negeri.
Yang terasa mengganggu bukan sekadar inefisiensi, melainkan akal-akalan. Sebuah perjalanan resmi dengan anggaran negara, dibungkus jargon keseriusan, padahal lebih tampak sebagai upaya memperlihatkan kinerja yang dramatis. Seolah-olah “terbang jauh” adalah tanda pengabdian, padahal yang lebih diperlukan justru kecerdasan untuk membangun kedaulatan ilmu di tanah sendiri.
Gunawan Muhammad pernah menulis tentang bagaimana bangsa sering terjebak pada ritual kosong: tindakan-tindakan yang tampak serius, namun kehilangan substansi. Maka, perjalanan ke China ini bisa kita baca sebagai salah satu contohnya. Ia bukan sekadar perjalanan audit, melainkan pertunjukan. Sebuah panggung untuk menunjukkan kesalehan birokrasi, yang sayangnya lebih sibuk mengelola citra daripada menyelesaikan masalah.
Ironinya, di tengah isu ini, publik mungkin semakin ragu: apakah benar nampan itu halal? Atau jangan-jangan yang lebih penting: apakah birokrasi kita waras? Karena sesungguhnya, tray bisa dibuat di Bandung atau Sidoarjo. Tanpa perlu paspor, tanpa perlu terbang ribuan kilometer, tanpa perlu memboroskan uang rakyat hanya demi menguji plastik.
Kita bisa bertanya dengan getir: jika urusan sepele saja harus diselesaikan dengan ziarah ke pabrik di China, bagaimana dengan perkara besar? Akankah setiap isu pangan, obat, atau kosmetik menunggu tiket perjalanan pejabat? Di sini absurditas itu menampakkan diri: bukan tray-nya yang kotor, melainkan logika kita sendiri yang berlumur minyak—bukan minyak babi, melainkan minyak akal-akalan.