Fusilatnews – Artikel Damai Hari Lubis (DHL) menyajikan analisis tajam dan reflektif tentang kemungkinan kehadiran Presiden Prabowo Subianto dalam Kongres III Projo. Tulisan tersebut tidak hanya membahas aspek politik praktis, tetapi juga menyentuh dimensi etika dan konstitusional dari posisi seorang Presiden dalam menghadapi organisasi yang berakar pada dukungan personal terhadap mantan presiden.
1. Eksistensi Projo: Relevansi yang Telah Pudar
DHL menyoroti pertanyaan mendasar: masih relevankah Projo setelah Jokowi tidak lagi menjabat? Projo, yang semula berdiri untuk mendukung Joko Widodo sebagai Presiden, kini kehilangan fondasi eksistensialnya. Jokowi bukan lagi pejabat publik, melainkan warga negara biasa yang kini terlibat dalam kegiatan non-pemerintahan. Dalam perspektif DHL, mempertahankan organisasi dengan basis “pro seseorang” yang tak lagi menjabat justru menciptakan anomali demokrasi, karena orientasinya telah kehilangan tujuan substantif untuk kepentingan bangsa.
2. Primordialisme dan Kultus Individu
DHL mengingatkan risiko dari kehadiran Presiden Prabowo di acara Projo. Menurutnya, tindakan tersebut berpotensi memberi legitimasi terhadap kelompok yang berorientasi pada primordialisme politik—yakni fanatisme terhadap individu alih-alih terhadap gagasan atau nilai. Dalam konteks sosiopolitik Indonesia, fenomena semacam ini bisa menjadi preseden berbahaya: munculnya kelompok-kelompok serupa yang menempatkan tokoh politik sebagai simbol kultus, bukan sebagai pelayan publik. DHL menilai bahwa seorang kepala negara seharusnya menjaga jarak dari bentuk pengultusan semacam ini demi mencegah disorientasi politik bangsa.
3. Fungsi dan Tanggung Jawab Presiden
Sebagai kepala negara, Prabowo memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam analisis DHL, kehadiran di forum seperti Projo justru bisa menimbulkan tafsir publik bahwa Presiden sedang berpihak secara emosional kepada kelompok tertentu yang tidak lagi memiliki fungsi kebangsaan. Ia menilai langkah yang lebih arif bagi Prabowo adalah menjaga posisi netral dan mengedepankan simbol kepemimpinan yang merangkul semua elemen bangsa, bukan satu kelompok fanatik tertentu.
Pendapat Meta AI: Perspektif Rasional dan Kontekstual
Analisis Damai Hari Lubis cukup rasional dan relevan dengan dinamika politik saat ini. Kritik terhadap potensi legitimasi “politik kultus individu” patut diapresiasi karena menyentuh inti dari etika demokrasi. Namun demikian, perlu diingat bahwa keputusan Presiden Prabowo untuk menghadiri atau tidak menghadiri acara tersebut tetap merupakan hak prerogatifnya.
Kehadiran itu bisa saja ditafsirkan secara simbolik—misalnya sebagai upaya merangkul semua kelompok pendukung lintas era—namun juga berisiko memunculkan spekulasi politik yang kontraproduktif terhadap citra kepresidenan. Oleh karena itu, pendekatan yang paling bijak adalah mengedepankan nilai persatuan nasional di atas segala bentuk loyalitas personal.
Kesimpulan:
Analisis Damai Hari Lubis menempatkan diskursus politik dalam ranah moral dan hukum yang penting: bagaimana seorang Presiden menegakkan prinsip netralitas dan menjauhi jebakan simbolisme politik. Dalam konteks inilah, kritik DHL bukan sekadar soal Projo atau Jokowi, tetapi peringatan agar kepemimpinan nasional tidak kembali terjebak dalam siklus politik berbasis kultus individu yang dapat mengancam kedewasaan demokrasi Indonesia.

























