Fusilatnews – Muktamar X Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Ancol, Jakarta, yang semestinya menjadi momentum konsolidasi, justru menjadi panggung kericuhan. Sabtu (27/9/2025), forum tertinggi partai Islam ini pecah oleh sorakan, adu mulut, hingga perkelahian fisik. Alih-alih memberi harapan, PPP sekali lagi memamerkan wajah rapuhnya: terbelah, kehilangan legitimasi, dan abai terhadap publik yang menyaksikan.
Klaim terpilihnya Muhamad Mardiono secara aklamasi sebagai Ketua Umum periode 2025–2030 mempertebal keruhnya suasana. Pimpinan Sidang Amir Uskara mengumumkan bahwa 30 DPW sudah sepakat, palu sudah diketuk. Namun Romahurmuziy, Ketua Majelis Pertimbangan PPP, menyebut kabar itu klaim sepihak—“palsu dan berbahaya.” Hingga malam, sidang formal masih berjalan.
Muktamar yang ricuh dan hasil yang dipertanyakan ini memperlihatkan satu hal: PPP sedang mengalami krisis legitimasi, bahkan lebih dalam dari sekadar krisis kepemimpinan.
PPP yang Semakin Jauh dari Umat
Partai berlambang Ka’bah ini pernah menjadi tumpuan politik Islam. Namun sejak reformasi, suaranya terus tergerus. Kaum santri dan kalangan Islam moderat sudah banyak bergeser ke PKB, PAN, atau PKS. Sementara generasi muda Muslim melihat PPP sebagai partai tua yang hanya sibuk rebutan kursi ketua umum.
Sorakan “Yang gagal mundur!” di arena muktamar adalah cermin: bahkan kader di dalam pun sudah hilang kepercayaan. Apalagi publik di luar. PPP kehilangan narasi segar, kehilangan tokoh karismatik, kehilangan isu yang bisa dijadikan magnet elektoral.
Political Forecasting: Senayan 2029, Makin Menjauh
Melihat kondisi hari ini, ada tiga skenario nasib PPP di Pemilu 2029:
1. Skenario Buruk: Gugur di Ambang Batas
Jika parliamentary threshold tetap 4 persen, PPP berisiko besar tersingkir. Suara yang terus merosot, ditambah konflik internal yang tidak berkesudahan, akan membuat PPP bernasib seperti PBB atau Partai Hanura: hidup dalam sejarah, mati di parlemen. Ricuh muktamar X hanya mempercepat proses “seleksi alam politik” ini.
2. Skenario Bertahan: Numpang di Koalisi
PPP mungkin bisa bertahan jika menempel pada koalisi besar, menjadi partai satelit untuk memastikan kursi di DPR. Namun itu hanya membuat PPP semakin kehilangan identitas. Dari partai ideologis menjadi sekadar partai pengikut, yang bergantung pada belas kasih mitra koalisinya.
3. Skenario Optimis: Reformasi Internal Radikal
Ini jalan paling sulit. PPP harus melakukan reformasi total: menghadirkan kepemimpinan baru yang kredibel, mengembalikan isu-isu keumatan yang konkret (ekonomi umat, pendidikan Islam, kesejahteraan pesantren), serta merebut hati generasi muda Muslim. Tanpa itu, mustahil PPP bisa kembali relevan.
Kesimpulan: PPP di Persimpangan Jalan
Muktamar X PPP meninggalkan kesan mendalam: partai yang mengusung nama persatuan justru tak mampu bersatu. Konflik aklamasi versus klaim sepihak hanya memperlihatkan ambisi elite yang mengalahkan martabat organisasi.
Menuju Senayan 2029, jalan PPP makin terjal. Jika tidak ada reformasi radikal, skenario paling realistis adalah PPP tergelincir dari panggung DPR. Partai ini bisa saja bertahan lewat koalisi, tapi dengan harga mahal: kehilangan identitas dan semakin jauh dari umat yang dulu menjadi alasan kelahirannya.
Pertanyaan itu pun tetap menggantung: apa yang sebenarnya kau cari, PPP? Jika jawabannya sekadar kursi, maka publik tak punya alasan lagi untuk memilihmu. Tapi jika benar mencari amanah umat, maka jalan panjang perubahan harus segera dimulai—sebelum terlambat.