Pernyataan Damai Hari Lubis, seorang pegiat dan aktivis Mujahid 212, terkait keberadaan baliho “Terima Kasih Jokowi” yang bertebaran di berbagai sudut kota, memberikan pandangan kritis terhadap dinamika kekuasaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama satu dekade masa pemerintahannya. Lubis menyoroti lima poin yang menurutnya mencerminkan fenomena di balik baliho-baliho tersebut, yakni megalomania, kebutuhan akan pembenaran, haus akan penghormatan, serta keinginan untuk melawan kritik terhadap kepemimpinan Jokowi. Pernyataan ini memperlihatkan perspektif yang lebih dalam tentang relasi antara pemimpin, sistem, dan rakyat yang dipimpinnya.
1. Presiden Berkuasa Tanpa Akuntabilitas Kepada Rakyat
Lubis memulai dengan mengkritik bagaimana sistem politik Indonesia memberikan ruang bagi seorang presiden untuk tidak bertanggung jawab secara langsung kepada rakyat setelah masa jabatannya berakhir. Menurutnya, baliho “Terima Kasih Jokowi” menjadi bukti dari kecenderungan ini. Setelah 10 tahun memimpin, Jokowi justru seakan-akan meminta maaf atas beberapa hal yang belum terpenuhi, meskipun posisinya adalah sebagai kepala negara yang memiliki otoritas dan kekuasaan untuk membawa perubahan besar.
Lubis melihat ini sebagai kesalahan bukan hanya pada sosok presiden, tetapi juga pada sistem yang memungkinkan hal tersebut terjadi. Sistem demokrasi Indonesia, dengan segala kekurangannya, memberikan ruang bagi presiden untuk mengambil kebijakan tanpa harus bertanggung jawab penuh kepada rakyat dalam jangka panjang. Dalam kasus Jokowi, hal ini dipandang sebagai manifestasi dari sistem yang tidak menuntut akuntabilitas yang cukup dari pemimpin terhadap rakyatnya.
2. Megalomania: Mengukir Nama Dalam Sejarah
Lubis juga menyinggung kecenderungan megalomania dalam politik Indonesia, di mana pemimpin berusaha meninggalkan jejak besar dalam sejarah. Baliho-baliho tersebut, menurutnya, mencerminkan ambisi untuk diingat sebagai sosok yang berjasa, meskipun ada banyak kritik terhadap kebijakan-kebijakan selama kepemimpinannya. Di sini, Lubis memperlihatkan kekhawatiran bahwa penghormatan berlebihan terhadap presiden dapat mengaburkan pandangan kritis masyarakat terhadap kebijakan yang dijalankannya.
Keberadaan baliho semacam ini juga mengindikasikan bagaimana seorang pemimpin bisa terjebak dalam kebutuhan untuk diakui oleh masyarakat luas, bahkan ketika pencapaiannya masih dipertanyakan. Fenomena ini memperlihatkan bahwa dalam politik modern, citra publik dan pencitraan sering kali menjadi fokus utama dibandingkan substansi kepemimpinan itu sendiri.
3. Kebutuhan Akan Pembenaran
Lubis menilai bahwa baliho-baliho tersebut adalah bagian dari upaya pembenaran diri yang dilakukan oleh Jokowi dan pendukungnya. Setelah sepuluh tahun berkuasa, pertanyaan besar tentang keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan muncul dari berbagai sudut pandang. Dalam konteks ini, baliho “Terima Kasih Jokowi” terlihat seperti respons atas kritik yang datang dari berbagai pihak, seakan-akan menunjukkan bahwa kepemimpinan Jokowi harus diakui dan diapresiasi oleh rakyat.
Namun, apakah baliho semacam itu merupakan cara yang tepat untuk merespons kritik? Lubis berpendapat bahwa ini adalah bagian dari upaya untuk menciptakan narasi bahwa segala sesuatu yang dilakukan sudah tepat dan layak diapresiasi, meskipun mungkin kenyataannya tidak demikian. Dalam hal ini, Lubis melihat adanya upaya untuk membenarkan tindakan dan kebijakan yang sebenarnya masih memerlukan evaluasi lebih lanjut.
4. Haus Akan Penghormatan dan Penghargaan
Dalam analisisnya, Lubis juga menyinggung bahwa baliho-baliho ini mencerminkan kehausan akan penghormatan dan penghargaan. Seorang presiden yang telah berkuasa selama satu dekade seharusnya mampu menerima kritik dengan lebih terbuka, bukan justru membutuhkan penghormatan yang berlebihan dari rakyatnya. Lubis menyiratkan bahwa tindakan memasang baliho terima kasih tersebut menunjukkan betapa besarnya keinginan untuk terus dihormati dan diingat sebagai pemimpin yang berjasa, meskipun ada bagian dari masyarakat yang merasa sebaliknya.
Lubis melihat hal ini sebagai bagian dari fenomena yang lebih luas di mana pemimpin-pemimpin politik sering kali haus akan pengakuan dan penghormatan dari rakyatnya. Baliho “Terima Kasih Jokowi” dapat dilihat sebagai simbol dari rasa haus ini, di mana apresiasi dari rakyat dianggap sebagai indikator kesuksesan seorang pemimpin.
5. Melawan Isu “Adili Jokowi”
Salah satu poin penting yang juga diangkat oleh Lubis adalah bahwa baliho-baliho ini merupakan strategi untuk melawan isu yang berkembang tentang kemungkinan mengadili Jokowi setelah masa jabatannya berakhir. Menurut Lubis, hal ini merupakan respons terhadap suara-suara yang mengkritik berbagai kebijakan Jokowi selama menjabat, khususnya terkait dengan isu hukum, HAM, dan ketidakadilan sosial. Baliho “Terima Kasih Jokowi” seakan menjadi cara untuk menegaskan bahwa Jokowi telah berjasa besar dan tidak layak untuk diadili atas kesalahan-kesalahan yang dituduhkan kepadanya.
Di sini, Lubis memperlihatkan bahwa politik pencitraan masih menjadi alat yang sangat efektif dalam menghadapi kritik. Dengan memunculkan narasi “terima kasih” dan “penghargaan”, baliho-baliho tersebut mencoba membentuk opini publik bahwa Jokowi adalah pemimpin yang sukses dan layak diapresiasi, bukan diadili atau dipertanyakan kebijakannya.
Kesimpulan
Pernyataan Damai Hari Lubis tentang fenomena baliho “Terima Kasih Jokowi” memperlihatkan dimensi yang lebih dalam dari politik pencitraan di Indonesia. Baliho ini bukan sekadar alat komunikasi, tetapi simbol dari bagaimana kekuasaan, penghormatan, dan citra diri dipertahankan oleh pemimpin-pemimpin politik. Melalui analisis Lubis, kita dapat melihat bahwa di balik keberadaan baliho tersebut, ada dinamika kekuasaan yang lebih kompleks, di mana sistem politik dan kebutuhan akan pengakuan saling mempengaruhi.
Pada akhirnya, fenomena ini mengingatkan kita akan pentingnya akuntabilitas dalam kepemimpinan. Seorang pemimpin harus mampu bertanggung jawab atas kebijakannya, bukan sekadar bergantung pada pencitraan dan penghormatan yang berlebihan. Baliho “Terima Kasih Jokowi” menjadi pengingat bahwa dalam politik, citra publik sering kali diprioritaskan di atas substansi dan akuntabilitas.