Jakarta-Fusilatnews – Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (UI) menggelar rapat mendesak pada Jumat, 18 Oktober 2024, untuk membahas kontroversi pemberian gelar doktor kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia. Rapat yang dipimpin oleh Ketua Dewan Guru Besar UI, Harkristuti Harkrisnowo, ini mendapat sorotan publik karena gelar doktor yang diberikan kepada Bahlil memicu tanda tanya besar terkait etika akademik.
“Iya, benar ada rapat,” kata Harkristuti ketika dikonfirmasi melalui pesan singkat oleh Tempo pada Jumat, 18 Oktober 2024. Rapat tersebut membahas tiga agenda, dengan fokus utama pada kasus pemberian gelar doktor dari Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) kepada Bahlil, terutama aspek etika dan moral di balik keputusan tersebut.
Dalam surat undangan rapat yang diterima oleh Tempo, tercantum agenda “Diskusi Etika dan Moral Kasus SKSG,” yang secara jelas menunjukkan adanya kekhawatiran di kalangan akademisi UI terkait proses dan prosedur pemberian gelar doktor kepada Bahlil. Sorotan publik semakin tajam ketika diketahui bahwa Bahlil berhasil menyelesaikan program doktoral dalam waktu kurang dari dua tahun—sesuatu yang dianggap tak lazim bagi sebuah program doktor, meskipun menggunakan jalur riset.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI, Andrinof Chaniago, menyampaikan kritik tajam terkait proses ini. “Saya hanya ingin menyampaikan pesan kepada pengelola SKSG dan pihak terkait di UI agar tidak membiasakan hal-hal yang tidak wajar dan menunjukkan yang tidak logis kepada publik,” kata Andrinof kepada Tempo melalui pesan singkat pada Jumat, 18 Oktober 2024.
Andrinof menegaskan bahwa program doktoral, bahkan yang berbasis riset, tidak mungkin diselesaikan dalam waktu yang begitu singkat. Menurutnya, setiap program doktor melibatkan serangkaian tahap yang panjang, mulai dari studi literatur yang mendalam hingga penelitian lapangan yang memakan waktu.
Kontroversi ini mencuat setelah informasi mengenai masa studi Bahlil di UI terungkap. Amelita Lusia, Kepala Biro Humas dan Keterbukaan Informasi Publik UI, menjelaskan bahwa Bahlil memang tercatat sebagai mahasiswa SKSG UI sejak tahun 2022 dan mengikuti program doktor dengan jalur riset. “Program doktor di SKSG memang ada yang menggunakan jalur riset, sama seperti di beberapa perguruan tinggi lain,” kata Amelita saat dihubungi pada Rabu, 16 Oktober 2024.
Namun, meskipun jalur riset memungkinkan fleksibilitas dalam penyelesaian studi, banyak akademisi dan pengamat pendidikan menilai penyelesaian doktor dalam waktu kurang dari dua tahun adalah hal yang sangat jarang terjadi, bahkan hampir mustahil, mengingat kompleksitas dan tuntutan dari program doktoral.
Kasus ini tidak hanya memicu perdebatan di kalangan akademisi, tetapi juga di masyarakat luas yang menuntut transparansi dalam proses pemberian gelar akademik, terutama di institusi pendidikan tinggi ternama seperti Universitas Indonesia.
Dugaan adanya perlakuan istimewa bagi Bahlil menambah panjang daftar isu mengenai standar akademik di Indonesia, terutama di era di mana gelar akademik sering kali dipandang sebagai simbol status politik atau kekuasaan. Dewan Guru Besar UI diharapkan dapat memberikan penjelasan yang jelas dan tegas mengenai masalah ini, agar integritas akademik tetap terjaga.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak Bahlil Lahadalia mengenai polemik ini. Rakyat Indonesia kini menantikan hasil dari rapat Dewan Guru Besar UI, yang diharapkan dapat mengklarifikasi dan menyelesaikan kontroversi yang telah mencuat di tengah masyarakat.
Sumber: Tempo